Jejak Waktu dan Perjalanan Pulang

Langit pagi itu masih kelabu ketika aku bersiap meninggalkan Jogja, kota yang selalu menyimpan kenangan. Tiga hari berlalu dengan begitu cepat, diisi dengan perbincangan hangat, tawa, dan nostalgia bersama teman-teman lama. Bertemu dengan kawan kawan ex P4 Smada 85 Jogja dalam resepsi pernikahan Laras, anaknya Yayuk, teman sekelas SMA dulu. Malam sebelumnya, di sebuah warung mie Jawa yang sederhana, kami duduk melingkar bersama beberapa sahabat, Encik, mas Bambang, mas Iqbal, mas Céng, dan beberapa kawan yang lain, berbagi cerita tentang hidup yang terus berjalan tanpa jeda, ngobrol tentang banyak hal lainya. Ada yang tetap di tempatnya, ada yang terus berpindah, tetapi waktu tidak menunggu siapa pun.


Dalam perjalanan pulang menuju Denpasar, kembali naik bus antar kota sambil menikmati perjalanan panjang, pikiranku melayang ke tahun-tahun yang telah berlalu. Rasanya baru kemarin aku duduk di bangku kuliah, merangkai mimpi, lalu menghadapi kenyataan hidup dengan segala tantangannya. Entah kenapa, dalam musim hujan, dan khususnya ketika dalam perjalanan ini hujan juga turun tiada henti, aku teringat kembali pada awal Februari 2002, ketika banjir besar melanda Jakarta. Hari itu, hujan terus mengguyur kota sejak pagi, bahkan sudah beberapa hari hujan tidak berhenti. Aku dan istriku, Ratih, berangkat kerja seperti biasa—ia bekerja di kantor Komnas HAM di Jl. Latuharhari, Menteng, sedangkan aku di Mabes Polri, Jl. Trunojoyo No. 3, Jakarta Selatan.

Sore harinya, hujan masih belum reda dan berita mengenai banjir sudah terdengar di banyak lokasi. Informasi dapat dipantau dari siaran televisi dan radio yang terus memperbarui laporan tentang kondisi jalanan. Sepulang kerja, aku menjemput Ratih ke kantornya di Menteng, lalu kami berusaha mencari jalan pulang sambil memantau siaran radio dari mobil. Dengan berspekulasi, kami menjelajah di antara kemacetan dan genangan banjir di banyak ruas jalan Jakarta. Di rumah, kedua anak kami yang masih kecil tinggal bersama dua orang pembantu. Saat itu sudah semakin gelap, tetapi jalanan tidak juga bisa ditembus. Kemacetan semakin parah, banyak ruas jalan tergenang, dan arus lalu lintas terjebak dalam kebingungan.

Menjelang malam, setelah berusaha berjam-jam tanpa hasil, kami akhirnya memutuskan untuk kembali ke kantor di Mabes Polri yang masih bisa diakses. Kami menunggu di kantor hingga tengah malam dan menjelang subuh, terus berkoordinasi dengan rumah. Syukurnya, kami mendapat kabar bahwa rumah tidak terdampak banjir dan anak-anak sudah makan serta tidur dengan aman.

Menjelang subuh, hujan mulai reda dan siaran radio semakin aktif memberikan informasi tentang jalan-jalan yang mulai bisa dilalui. Pada pukul 02.00 dini hari, kami mencoba keberuntungan sekali lagi, menyusuri jalan yang diberitakan sudah bisa diakses. Akhirnya, setelah perjuangan panjang, kami tiba di rumah pukul 04.00 pagi. Namun, aku masih harus bersiap—hanya dua jam kemudian, aku harus berangkat ke kampus UI di Depok untuk mengikuti wisuda Pascasarjana.

Karena Ratih kelelahan dan demam akibat perjalanan yang melelahkan, ia tidak bisa ikut. Aku pun memutuskan untuk berangkat sendiri, tetapi meminta empat orang anak buah yang tinggal di Wisma Anton Sujarwo, Korbrimob Depok, untuk mendampingiku dalam acara wisuda.

Setiap perjalanan adalah kisah, dan setiap kisah adalah warisan bagi generasi berikutnya. Aku membayangkan suatu hari nanti, ketika Naren sudah cukup besar untuk membaca, dia akan menemukan cerita ini. Mungkin dia akan membayangkan kakeknya berdiri di tengah Balairung UI, atau mendengar suara radio tua yang mengabarkan jalanan yang kembali bisa dilalui setelah banjir besar. Mungkin dia akan bertanya-tanya, seperti apa dunia di masa lalu? Bagaimana kehidupan yang telah dijalani kakeknya?

Namun, lebih dari sekadar cerita, aku ingin dia mengerti bahwa hidup adalah perjalanan panjang yang penuh tantangan. Ada saat di mana kita terjebak dalam banjir masalah, merasa tak bisa pulang, tak tahu arah. Tetapi selalu ada jalan, selalu ada harapan. Seperti waktu yang terus berjalan, hidup ini bukan tentang seberapa lama kita tinggal di satu tempat, melainkan tentang bagaimana kita bergerak maju dan mengisi perjalanan itu dengan makna.

Kini, di usia hampir enam puluh tahun, aku hanya ingin memanfaatkan waktu yang tersisa dengan sebaik-baiknya. Menjalankan apa yang diperintahkan Tuhan, menyebarkan kebaikan, dan meninggalkan jejak yang bisa dikenang. Bukan tentang harta atau jabatan, tetapi tentang nilai-nilai yang bisa diwariskan. Untuk Andra, untuk Adinda, dan terutama untuk Adrian Narendra, yang kelak akan menjalani perjalanannya sendiri.

Jika suatu hari kau membaca ini, Naren, ingatlah: hidup adalah perjalanan, dan yang terpenting bukanlah di mana kau memulai atau di mana kau akan berakhir, tetapi bagaimana kau melangkah di sepanjang jalan itu.

Popular posts from this blog

Manggala Dari Paitunan

Misteri Drumband yang Hilang di Angin Pagi

Saat Malam Tak Perlu Dijelaskan