Saat Malam Tak Perlu Dijelaskan

Ada malam-malam yang datang bukan untuk diisi, melainkan untuk membiarkan hati duduk diam, menyandarkan lelahnya di dinding kenangan.

Di kampung kecil Ketanggungan, Jogja yang kini hanya tinggal potongan dalam ingatan, suara malam pernah begitu jujur — orong-orong memulai senandung sejak senja, disusul jangkrik yang menunggu giliran saat lampu petromaks menyala dan suara manusia mulai terdengar sayup dikejauhan.

Di ruang tengah, tikar dari anyaman daun pandan digelar perlahan di lantai. Bantal kapuk disandarkan, dan tubuh kecil rebah di atasnya, merasakan sejuk yang menjalar pelan dari kulit ke hati. Di sudut ruangan, radio transistor bergumam sayup, membacakan warta dari RRI di gelombang MW, sesekali terselip keroncong lawas atau suara penyiar yang seperti berbicara hanya pada satu orang.

Tak ada ponsel. Tak ada janji yang harus ditepati pagi-pagi. Hanya langit-langit rumah yang diamati sambil berkhayal: tentang menjadi orang besar, tentang sekolah jauh, tentang sesuatu yang tak jelas tapi terasa penting bagi seorang anak.

Malam-malam itu bukan untuk membuktikan apa-apa, hanya untuk mengizinkan hati jadi kecil lagi, cukup menjadi bocah yang mengantuk dan tak perlu menjelaskan pada siapa-siapa kenapa ia diam.

Dan ketika suara drumband misterius kadang terdengar samar mengalun dari kejauhan, tak ada rasa takut—hanya heran yang dibalut senyum, dan keyakinan bahwa malam memang punya cara sendiri untuk berbicara.

Kini, kita tinggal memelihara sisa-sisa malam itu, sebab dunia terlalu gaduh untuk mendengarkannya lagi. Tapi tenang—masa kecil tak pernah benar-benar pergi. Ia hanya menunggu malam yang cukup sepi… untuk bicara lagi.

Mengenang masa kecil di kampung Jogia. Denpasar jelang Nyepi 2025

Popular posts from this blog

Manggala Dari Paitunan

Misteri Drumband yang Hilang di Angin Pagi