Misteri Drumband yang Hilang di Angin Pagi
(Yogyakarta, Sekitar Tahun 1976an)
Sejak kecil, aku sudah sering mendengar cerita tentang suara drumband gaib yang muncul menjelang subuh di kota tempat kelahiranku, Yogyakarta.
Beberapa teman di kampung pernah membicarakannya — bahwa pada waktu-waktu tertentu, terdengar alunan suara drumband yang seolah berasal dari kejauhan, tetapi ketika dikejar, suaranya malah menghilang begitu saja. Aku yang masih anak-anak waktu itu tentu penasaran. Benarkah ada suara drumband tanpa wujud dan tidak ketahuan sumber suaranya.?
Aku pernah menanyakan hal ini kepada ibu sebelum tidur, berharap mendapat jawaban yang lebih pasti. Ibu tidak menolak pertanyaanku, tapi justru menceritakan mitos yang sudah lama dipercaya orang-orang tua.
"Mungkin itu pasukan tentara Mataram zaman dulu," kata ibu dengan suara lembutnya.
Aku terbelalak.
"Tentara Mataram, Bu?" tanyaku heran.
Ibu mengangguk pelan. "Katanya, ada masanya arwah mereka berjalan kembali, berbaris menuju medan perang yang tak lagi ada. Suara itu yang terdengar..."
Aku bergidik, membayangkan pasukan hantu berjalan dalam barisan rapi di jalanan kota Yogyakarta yang sepi. Tapi ibu belum selesai bercerita.
"Tapi ada juga yang percaya bahwa suara drumband itu adalah suara pasukan Nyi Roro Kidul," lanjutnya.
Aku semakin terkejut. Pasukan Nyi Roro Kidul?
"Orang-orang bilang, kadang-kadang pasukannya lewat dari Pantai Selatan menuju Merapi. Mereka bergerak dalam pawai, suara genderang mereka menggetarkan tanah, tapi tak ada yang bisa melihatnya," ibu berkata sambil tersenyum samar.
Aku tidak tahu harus percaya atau tidak. Apakah benar suara itu berasal dari arwah tentara Mataram? Atau benar pasukan Nyi Roro Kidul sedang berbaris melintasi kota?
Saat itu, aku hanya bisa membayangkan. Aku belum pernah mendengar suara itu sendiri. Tapi semua berubah pada subuh itu, di suatu pagi di tahun 1976.
-----
Udara subuh di Yogyakarta begitu dingin, menusuk kulit. Dari balik beberapa genting kaca di atap kamarku, aku bisa melihat langit yang masih pekat, tanpa bintang, seolah terbungkus kabut tipis. Suasana begitu sunyi, hanya sesekali terdengar suara jangkrik dari pekarangan rumah.
Kala itu entah karena apa, aku terbangun, nglilir, sekitar pukul tiga pagi. Awalnya, aku setengah sadar, masih berada di antara mimpi dan kenyataan. Rasanya masih ingin meneruskan tidur di subuh itu, tetapi yang ada mata ini sulit diajak terpejam lagi. Lalu kemudian, perlahan-lahan, ditengah keheningan pagi itu aku mulai mendengar suara lirih yang mengalun dari kejauhan.
Dredeb deb db deb... dredeb deb deb......
Aku mencoba membuka mata lebih lebar sambil mengernyitkan dahi. Suara itu begitu pelan, hampir seperti bisikan angin. Aku mencoba menajamkan pendengaran, memastikan bahwa ini bukan sekadar mimpi. Apakah ini suara drumband gaib yang selama ini diceritakan ibu dan teman-teman?
Selagi aku terus mengamati suara seperti drumband itu, dari luar rumah, samar-samar terdengar suara teman-temanku. Rupanya mereka juga terbangun. Apakah mereka juga mendengar suara itu?. Aku berjingkat turun dari tempat tidur, melangkah pelan agar tidak membangunkan ibu dan kakak-kakakku. Aku mendengar napas ibu yang masih teratur di kamar sebelah. Hening sekali.
Aku berjalan menuju pintu depan rumahku, menahan napas saat tanganku perlahan melepas slarak, ganjal kayu pintu. Dengan sangat hati-hati, aku mendorongnya sedikit agar bisa keluar tanpa suara. Udara dingin langsung menyergap tubuhku saat aku mengintip ke luar.
Di jalan kampung Ketanggungan yang lengang itu, beberapa temanku sudah berdiri, mengendap-endap seperti pencuri. Wajah mereka terlihat tegang tapi juga penuh semangat.
"Kowe krungu ora?" salah seorang temanku bertanya dengan suara setengah berbisik, menanyakan apakah aku mendengar apa yang mereka dengar, suara lirih mengalun, suara drumband.
"Iya, jelas. Tapi dari mana suaranya?" aku membalas, masih berusaha mencari arah sumber bunyi itu.
Kami mencoba menebak. Ada yang bilang dari timur, ada yang yakin dari utara. Tapi bagiku, suara itu terasa mengalun lirih, berputar arah, seolah-olah bergerak bersama angin pagi.
Kami sepakat untuk mencari tahu. Dengan semangat anak-anak yang penasaran, kami mulai berjalan ke arah timur, menuju Jalan besar, Jl. Piere Tendean, Yogyakarta. Saat tiba di sana, suasana masih gelap. Lampu jalan masih redup, hanya beberapa rumah yang menyalakan lampu minyak atau bohlam kecil yang sinarnya cukup temaram untuk menerangi teras beberapa rumah ditepi jalan itu.
Aku mencium aroma embun yang menempel di tanah dan dedaunan. Jauh di ujung jalan, terlihat seorang bapak tua dengan sarung melilit tubuhnya, duduk di depan rumahnya sambil menghisap rokok klobot. Ia tampak tidak terganggu dengan suara drumband yang samar itu.
"Dari mana suara itu?" tanya seorang teman.
"Seperti dari utara," sahut yang lain.
Tapi ada juga yang bersikeras suaranya berasal dari timur. Kami mulai kebingungan. Suara itu seperti berpindah-pindah tanpa arah yang jelas.
Saat kami mulai ribut berkerumun di pinggir jalan, beberapa orang dewasa mulai keluar rumah, heran dengan kelakuan kami. Dari kejauhan, Pak Sukiman, seorang tetangga pemilik toko kelontong di tepi Jl. Tendean, hanya bersarung tanpa baju, berdiri di teras rumahnya sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Hei, ojo rame-rame! Ati-ati main di jalan!" serunya memperingatkan.
Kami hanya nyengir lalu menjawab serempak "Nggih...", dan kembali fokus pada perburuan suara misterius ini. Karena merasa berjalan kaki terlalu lambat, aku punya ide.
"Ayo pakai sepeda!"
Teman-teman langsung setuju dengan penuh antusias. Aku segera berlari pulang untuk mengambil sepedaku. Aku harus sangat hati-hati agar tidak membangunkan ibu. Dengan perlahan, aku menuntun sepeda keluar dari rumah. Tapi saat melewati pintu, ban sepedaku menabrak kayu dengan suara glodak!
Aku menahan napas sesaat, takut ibu atau kakak-kakakku terbangun. Tapi rumah tetap sunyi. Aku segera menutup pintu kembali dan bergegas menuju jalan raya, bergabung dengan teman-teman yang sudah siap dengan sepeda mereka.
Kami mulai mengayuh sepeda dengan semangat, memburu suara drumband yang terus terdengar samar. Kali ini, kami mengarah ke selatan hingga mendekati pasar Ngringin yang berada di pojok perempatan Patangpuluhan. Tapi setelah sampai di ujung jalan, celakanya suara itu justru mengalun lirih dari arah timur.
Tanpa pikir panjang, kami bersepakat untuk mengejarnya ke timur, menuju Tamansari, melewati jembatan Kali Winongo. Sepanjang jalan, kami tetap berisik, bercanda, dan tertawa kecil di antara kayuhan sepeda kami.
Tapi entah bagaimana, di tengah keseruan itu, kami tidak menyadari satu hal: suara drumband itu telah hilang.
Kami baru sadar ketika hampir mencapai perempatan Tamansari. Kami segera berhenti, saling memberi isyarat untuk diam, lalu menajamkan pendengaran.
Tidak ada suara drumband.
Kami menunggu, berharap suara itu muncul kembali. Tapi yang terdengar justru suara kaki kuda delman, plak ketipak ketipak, mungkin delman itu sedang menuju Pasar Gede untuk mencari penumpang pagi.
Kemudian, suara lain menyusul.
"Sahuuuur… sahuuuur..."
Suara para warga yang membangunkan sahur di bulan puasa kala itu mulai memenuhi udara.
Kami saling berpandangan. Ke mana perginya suara drumband itu?
Lelah dan sedikit kecewa, kami akhirnya sepakat untuk pulang. Sepanjang jalan, kami masih saling berbicara—ada yang bersikeras mendengar suara drumband dengan jelas, ada yang merasa suaranya terlalu lirih, seolah hanya terbawa angin pagi.
Aku kembali masuk ke rumah dengan langkah perlahan, menutup pintu, lalu berbaring di tempat tidur. Tapi aku masih belum bisa tidur, pikiranku terus memutar kejadian barusan.
Suara drumband itu, dari mana asalnya? Kenapa tiba-tiba menghilang?
Aku mengingat kembali cerita-cerita yang pernah kudengar dari teman-teman, dari ibu. Dulu, aku hanya membayangkan seperti apa suara itu, tetapi kini aku sendiri telah mendengarnya.
Meskipun bertahun-tahun berlalu, misteri itu tetap tak terpecahkan. Hanya satu hal yang pasti: di subuh-subuh Yogyakarta tahun 1976, suara drumband itu pernah terdengar, mengalun lirih di angin pagi.