Bab 2: Bayangan di Balik Tahta
Malam menggantung sunyi di atas Majapahit. Cahaya Chandra yang redup berpadu dengan kerlip Kartika yang tersebar di langit, sementara ublik-ublik kecil berpendar samar di sudut-sudut halaman istana. Dalam gelapnya malam, bayang-bayang bergerak diam, menelusup di antara pilar-pilar batu yang menjulang megah ditingkahi berisik suara jengkerik dan sahutan suara burung hantu yang bertengger disalah satu dahan pohon sawo yang tinggi dan rimbun di halaman istana itu.
Di balik dinding balairung, seorang pemuda menyandarkan tubuhnya, menarik napas panjang sebelum melangkah lebih jauh ke dalam kegelapan. Adinendra Wisesaning Segara, atau yang dalam pelukan keluarganya sering dipanggil Naren atau Nendra, kini harus membuktikan diri. Ini bukan lagi sekadar ujian keprajuritan—ini adalah misi nyata pertama sebagai calon Dharmaputra Bhayangkara.
Panji Anggajaya telah memberinya tugas: menemukan jejak pengkhianatan yang bersembunyi di dalam istana. Informasi yang diberikan Singajaya, tangan kanan Patih, terlalu samar, tetapi cukup untuk membangkitkan kewaspadaan. Ada pesan-pesan rahasia yang diselundupkan keluar istana, dan salah satu abdi dalem diduga terlibat.
Naren bergerak pelan, menyusuri jalur yang jarang dilewati. Cahaya ublik bergoyang pelan tertiup angin, menciptakan siluet yang menari di dinding batu. Sekilas, ia seperti melihat bayangan lain yang juga bergerak di kejauhan, tetapi ia tetap tenang. Ia telah diajari bahwa dalam dunia Bhayangkara, tidak semua yang terlihat adalah kebenaran, dan tidak semua yang tersembunyi adalah kebohongan.
Langkahnya membawanya menuju sebuah ruangan kecil di bagian belakang istana. Dari celah pintu yang sedikit terbuka, terdengar suara lirih perbincangan. Naren menajamkan pendengarannya. Ada seseorang yang sedang berbicara, suaranya lirih, dalam dan penuh perhitungan.
“Raja semakin lengah. Jika tidak sekarang, maka kapan lagi?”
Sebuah suara lain menjawab dengan ragu, “Tapi… Bhayangkara mencium sesuatu. Mereka mulai bergerak.”
“Terlalu lambat,” suara pertama menyela dengan tegas namun tetap lirih menahan kegeraman. “Malam ini pesan harus dikirim. Jika gagal, kita semua akan mati sebelum fajar.”
Naren menahan napas. Ia tahu ia harus segera bertindak. Tetapi sebelum ia bisa bergerak, sebuah tangan mencengkeram lengannya dari belakang. Nafasnya tercekat seketika dan hampir saja ia berteriak, namun pengalaman olah keprajuritan yang selama ini ia tekuni mencegahnya. Ia berbalik cepat, tangannya siap menarik keris, tetapi sebelum sempat melancarkan serangan, ia melihat siapa yang menahannya.
Seorang pria bertubuh tinggi berdiri di sana. Wajahnya setengah tersembunyi bayangan, tetapi ada sesuatu dalam matanya yang berbeda dari lawan-lawan yang pernah dihadapi Naren sebelumnya.
“Apa kau pikir kau satu-satunya yang sedang menyelidiki ini?” bisik orang itu dengan amat lirih.
Naren mengerutkan dahi. Ini bukan musuh, tetapi juga bukan sekutu yang ia kenal. Dan sebelum ia sempat bertanya lebih jauh, suara dalam ruangan kembali terdengar, kali ini dengan nada yang lebih mendesak.
“Berangkat sekarang! Jangan sampai tertangkap!”
Suara pintu didorong terbuka, dan sosok di dalam ruangan melangkah keluar. Malam yang sunyi berubah menjadi ketegangan yang siap meledak.
Naren menatap pria di depannya dengan waspada. Siapa dia? Mengapa ia juga mengawasi pertemuan ini?
“Terlalu berbahaya jika kau terus berdiri di sini,” bisik pria itu lagi. “Jika mereka melihatmu, kau akan diburu.”
Naren tidak segera menjawab. Ia menimbang kemungkinan yang ada. Jika orang ini memang berada di pihaknya, mungkin ia bisa mendapatkan informasi lebih banyak. Tetapi jika ia bagian dari jebakan yang lebih besar, maka setiap langkah salah bisa berujung pada kehancuran.
Suara langkah kaki semakin mendekat dari arah ruangan. Keputusan harus diambil. Sekarang.
Dengan cepat, Naren mengikuti pria misterius itu mengendap dan mendekat ke balik bayangan sebuah pilar batu yang besar. Di kejauhan, para penjaga mulai bergerak, menyusuri lorong dengan obor di tangan.
Setelah melewati beberapa lorong tersembunyi, mereka tiba di sebuah halaman kecil yang gelap, hanya diterangi cahaya bulan yang samar.
Dari bayangan, muncullah sosok tinggi berselimut kain hitam. Matanya menatap tajam, penuh perhitungan. Seketika, Naren tahu—ini dia, orang yang selama ini mereka cari. Rupanya sosok ini telah sadar keberadaanya sedang diintai oleh prajurit telik sandi, Naren dan orang misterius ini dan bersiap untuk segera menghilang.
Tiba tiba, sosok tersebut berdehem sesaat, lalu berucap seolah sedang berbicara sendiri kepada angin “Kau tidak akan bisa menghentikan apa yang sudah dimulai,” ucap sosok itu dingin. “Majapahit akan jatuh, dan tidak ada yang bisa menghalangi.”
Naren bersiap melangkah maju, tetapi sebelum sempat mendekat, sosok itu melompat ke belakang, tubuhnya berputar dalam gerakan yang mustahil dilakukan manusia biasa. Dalam sekejap, ia melenting ke atap dan lenyap dalam gelap malam.
Naren mengepalkan tangan dengan geram dan bersiap untuk mengejarnya, Ia sama sekali tidak menyangka lawannya memiliki ilmu kanuragan tingkat tinggi. Usaha Naren untuk mengejar itu dicegah oleh orang misterius yang berada didalam persembunyiaan ditengah temaram malam bersamanya.
Namun, tidak ada waktu untuk merenung. Dari arah gang sempit, suara langkah prajurit pengawal mendekat dengan cepat.
“Kita tidak bisa melawan mereka di sini,” kata pria di sampingnya. “Gunakan keahlianmu.”
Naren mengangguk. Mereka berdua segera memusatkan tenaga dalam, mengatur pernapasan, lalu melesat ke dalam bayangan.
Ketika para prajurit tiba di halaman, mereka hanya menemukan udara kosong. Naren dan pria itu telah menghilang ke dalam kegelapan.
Bersambung...