Manggala Dari Paitunan-3
Bab 3: Bayang-bayang dalam Pelarian
Malam masih menebarkan selimut kelamnya saat dua bayangan bergerak cepat di antara gang-gang sempit kota raja. Cahaya Chandra dan Kartika hanya menebar sinar temaram, menyisakan gelap yang menjadi sekutu bagi mereka yang tahu cara menggunakannya. Nafas berat terdengar dalam kesunyian, tetapi langkah-langkah tetap terukur, tak meninggalkan jejak yang mudah dilacak.
Dalam pelarianya menghindari kejaraan prajurit istana, Naren dan pria misterius akhirnya berhenti di sebuah bangunan tua di pinggiran kota, sebuah rumah yang sudah lama tak berpenghuni, tersembunyi ditengah rerimbunan pohon bambu petung dan jenis pepohonan buah yang tinggi tinggi. Setelah mengamati dengan seksama sekeliling, mereka memasuki rumah itu dari pintu samping, dekat pekiwan, menutup pintu perlahan setelah memastikan tak ada yang mengikuti mereka. Satu ublik kecil menyala, cukup untuk memperlihatkan raut wajah mereka tanpa menarik perhatian dari luar.
Naren menatap pria itu dengan tajam. “Sekarang aku ingin tahu siapa kau sebenarnya,” katanya, masih menjaga nada suaranya tetap rendah. “Mengapa kau juga mengejar pengkhianat itu?”
Pria itu tersenyum samar, menyingkap sedikit kain yang menutupi bagian atas wajahnya. “Namaku Wiro Pamotan. Aku bukan musuhmu, Naren.”
Naren menajamkan pandangannya. Nama itu asing, tetapi ada sesuatu dalam sorot mata pria itu yang membuatnya merasa pernah mendengar kisah tentang seorang pendekar dalam bayang-bayang istana. Namun, sebelum ia sempat bertanya lebih lanjut, suara langkah kaki mendekat dari kejauhan dan itu cukup membuat kewaspadaan mereka terpantik seketika.
“Prajurit kerajaan,” bisik Wiro Pamotan. “Mereka belum menyerah.”
Tanpa perlu perintah, Naren segera menyingkap kain penutup wajahnya lebih rapat. Mereka harus bertempur, tetapi tanpa mencelakai prajurit yang hanya menjalankan tugasnya.
Pertarungan dalam Gelap
Teriakan perintah terdengar, dan sekelompok prajurit kerajaan menerjang masuk ke dalam halaman bangunan tua itu. Pertarungan sengit pecah dalam bayang-bayang, dengan Naren dan Wiro Pamotan berusaha bertahan tanpa melukai para prajurit.
Naren melesat ke samping, menghindari sabetan tombak yang hampir mengenainya. Dengan gerakan ringan, ia menendang poros tombak lawan, membuat prajurit itu kehilangan keseimbangan namun tanpa menyebabkan luka fatal. Di sisi lain, Wiro Pamotan memutar tubuhnya, menghindari serangan pedang dengan kelincahan luar biasa, lalu dengan satu gerakan, ia menepuk bahu lawan dan melumpuhkannya sejenak tanpa merusak ototnya.
Dalam bayangan, mereka menggunakan jurus meringankan tubuh yang membuat mereka seolah melayang, bergerak dari satu titik ke titik lain tanpa jejak yang bisa ditangkap dengan mudah. Para prajurit berusaha menyerang, tetapi yang mereka hadapi bukan sekadar lawan yang tangguh, melainkan bayangan yang sulit diraih.
“Jangan gunakan kekuatan berlebihan,” bisik Wiro Pamotan di tengah pergerakan. “Tujuan kita adalah menghindar, bukan membunuh.”
Naren mengangguk, menangkis sebuah serangan dari belakang dengan gerakan spiral, memanfaatkan tenaga lawan untuk membuatnya terdorong ke belakang. Satu demi satu prajurit mulai kelelahan, tetapi mereka tetap berusaha mengepung.
Akhirnya, ketika celah itu muncul, Naren dan Wiro Pamotan saling bertukar pandang—ini saatnya meloloskan diri. Dengan satu lompatan tinggi, mereka melesat ke atap bangunan, kemudian melompat dari satu rumah ke rumah lain, menghilang dalam gelapnya malam.
Saat para prajurit sadar bahwa mereka telah kehilangan jejak, pemimpin pasukan menghela napas berat. “Siapa mereka sebenarnya?” gumamnya.
Memecahkan Sandi Rahasia
Di kejauhan, Naren dan Wiro Pamotan akhirnya tiba di sebuah tempat yang lebih aman. Mereka menarik napas dalam-dalam, masih merasakan sisa ketegangan dari pertarungan tadi.
Naren merogoh sesuatu dari balik sabuk ikat pinggangnya dan mengeluarkan selembar kertas sandi rahasia yang ia peroleh dari seorang abdi dalem tua di belakang istana, tepat sebelum pengejaran ini dimulai. Kertas itu berisi simbol-simbol aneh yang belum bisa mereka pecahkan.
“Kau harus menjelaskan lebih banyak padaku,” ujar Naren, mengamati sandi tersebut di bawah cahaya ublik yang redup. “Aku tidak bisa terus bertempur tanpa tahu siapa lawanku dan siapa sekutuku.”
Wiro Pamotan menatap kertas itu, wajahnya berubah serius. “Aku pernah melihat pola tulisan seperti ini sebelumnya. Ini bukan tulisan biasa. Kemungkinan besar, hanya segelintir orang di Majapahit yang bisa membacanya.”
Naren mengangguk. “Kalau begitu, kita harus mencari orang yang bisa membacanya. Tapi siapa?”
Wiro Pamotan merenung sejenak. “Ada beberapa orang yang mungkin bisa. Seorang pendeta di biara selatan memiliki pengetahuan luas tentang sandi dan tulisan kuno. Atau, ada seorang ahli strategi yang dahulu pernah melayani istana, tetapi kini hidup dalam penyamaran.”
Mereka saling bertukar pandang. Pilihan yang mereka ambil akan menentukan langkah berikutnya dalam mengungkap kebenaran di balik pengkhianatan ini.
Di luar, angin malam masih bertiup pelan. Bahaya belum berlalu, dan perburuan mereka masih jauh dari selesai.
Keputusan dan Perjalanan Berbahaya
Setelah berpikir sejenak, mereka memutuskan untuk mencari ahli strategi tersebut. Ia dikenal sebagai Kyai Lembu Jagratara, seorang mantan penasihat perang yang menghilang dari istana setelah terjadi perombakan punggawa kaprajuritan dan satuan elit Bhayangkara beberapa tahun sebelumnya.
Namun perjalanan tidaklah mudah. Kota raja masih dalam keadaan siaga, dan setiap gerakan mencurigakan bisa berujung pada pengejaran. Mereka harus meninggalkan kota tanpa menarik perhatian telik sandi atau prajurit kerajaan yang masih mengincar mereka.
Setelah mempertimbangkan perkembangan situasi, mereka memutuskan untuk memilih jalur yang lebih sepi, menyusuri tepian Sungai Brantas, bersembunyi di antara hutan bambu dan rawa-rawa yang dihuni oleh buaya dan ular berbisa.
Di tengah perjalanan, mereka berpapasan dengan sekelompok pedagang dan saudagar yang mengangkut barang dagangan ke hilir sungai. Tanpa berpikir lama, mereka menyamar sebagai tukang gethek, ikut mengarungi sungai demi menghindari telik sandi yang masih berjaga di sepanjang jalur darat.
Air sungai yang tenang menyembunyikan ketegangan di dalam hati mereka. Mereka tahu, langkah mereka semakin dekat ke arah jawaban, tetapi juga semakin mendekati bahaya yang lebih besar.
Di kejauhan, di balik kabut yang mulai turun di atas sungai, sebuah bayangan mengintai dari kejauhan. Seseorang sudah mengetahui perjalanan mereka.
Bersambung...