Manggala Dari Paitunan
Bab 1: Prahara di Balai Pamedan
Angin dingin dari utara menyusup ke sela-sela pelindung dada prajurit yang berjaga di Balai Pamedan. Bulan sabit menggantung di langit Kartika, mengintip dari balik awan kelabu. Di kejauhan, suara genderang ronda terdengar, tanda bahwa pasukan jaga Majapahit masih bersiaga di sekitar pura manguntur.
Di pelataran luas yang diterangi obor-obor besar, barisan prajurit Bhayangkara berdiri tegap. Mereka adalah barisan pelindung yang hanya tunduk pada raja. Malam ini, mereka berkumpul bukan untuk latihan biasa, melainkan untuk menyaksikan ujian pertama seorang calon yang hendak mengabdikan diri kepada Majapahit.
Seorang pemuda berusia sekitar dua puluh tahun berdiri di tengah lingkaran prajurit. Sosoknya tegap, meski belum sepenuhnya matang dalam kebesaran seorang kesatria. Rambutnya digelung sederhana, memperlihatkan garis wajahnya yang tegas. Sorot matanya tajam, mencerminkan keberanian yang tidak dipaksakan, tetapi lahir dari keyakinan. Ia mengenakan busana hitam khas calon Dharmaputra, dengan selempang merah tua yang menandakan statusnya masih dalam masa ujian.
Namanya Adinendra Wisesaning Segara. Sejak kecil, orang tuanya selalu berkata bahwa namanya mengandung harapan besar: Wisesaning Segara, kebijaksanaan seluas lautan. Ayahnya seorang saudagar dari pesisir utara, dan ibunya keturunan perwira pengawal pelabuhan di Tuban. Sejak kecil, ia tumbuh di antara kisah para pelaut dan prajurit, mendengar tentang keberanian para Bhayangkara yang melindungi tahta Majapahit.
Di rumah, ibunya biasa memanggilnya Naren atau Nendra, sebuah panggilan yang lebih akrab dan penuh kasih sayang, dan panggilan Naren selalu mengingatkan orang tuanya pada rasa manis gula aren. Namun di luar, terutama di kalangan para prajurit, ia lebih dikenal dengan Segara, sebutan yang mencerminkan asal-usulnya dari pesisir.
Di hadapannya, seorang lelaki bertubuh kekar berdiri dengan sikap penuh wibawa. Rambutnya yang memutih sebagian memberi kesan bahwa ia telah banyak mengarungi medan tempur. Ia mengenakan angkin prajurit Bhayangkara berpangkat Panji, lambang bahwa ia adalah seorang pembimbing bagi para calon Dharmaputra. Namanya Panji Anggajaya, salah satu perwira Bhayangkara yang paling disegani di Majapahit.
“Gelar Dharmaputra Bhayangkara bukan sembarang gelar, tetapi beban seumur hidup. Kau yakin ingin melangkah ke jalan ini?” suara berat Panji Anggajaya menggema di antara barisan prajurit.
Adinendra mengangkat kepalanya. Matanya menatap lurus ke arah Panji Anggajaya, tanpa sedikit pun gentar. "Kawula sedia menerima titah ini, Panji. Kawula tidak bakal undur."
Panji Anggajaya menghela napas dalam-dalam. “Banyak pemuda ingin menjadi Bhayangkara, tetapi tidak semua siap menerima kenyataan. Ini bukan tentang kemampuan bertarung semata, tetapi juga tentang pengorbanan. Kau siap meninggalkan nama keluargamu, saudara-saudaramu, bahkan mungkin hidupmu sendiri demi kejayaan Majapahit?”
Adinendra diam sejenak. Ia paham maksud pertanyaan itu. Menjadi seorang Bhayangkara berarti menyerahkan seluruh hidupnya pada tahta, tanpa harapan mendapatkan kehormatan pribadi. Jika kelak ia mati dalam tugas, namanya mungkin tak akan tercatat dalam sejarah. Namun, bukan kemuliaan yang ia cari.
“Kawula sedia, Panji,” jawabnya mantap.
Panji Anggajaya tersenyum tipis, tetapi bukan senyum kepuasan. Ia tahu, kata-kata bisa diucapkan dengan mudah. Kesetiaan sejati hanya bisa dibuktikan di medan tugas.
“Jika begitu, buktikan dirimu malam ini,” ujarnya. “Ada pengkhianat di dalam istana, dan tugasmu adalah membuktikan kesetiaanmu—bukan dengan bicara, tetapi dengan perbuatan.”
Adinendra atau Naren merasakan udara di sekelilingnya seakan menjadi lebih berat. Ia tahu bahwa Bhayangkara tidak pernah memberikan ujian tanpa konsekuensi. Jika Panji Anggajaya menyebut ada pengkhianat, maka malam ini ia harus menangkap atau membunuh seseorang yang telah mengkhianati Majapahit.
Dari balik bayang-bayang pilar, sesosok lain melangkah keluar. Seorang lelaki berpakaian surjan hitam berhiaskan benang emas, dengan sikap angkuh namun tetap tenang. Usianya lebih tua dari Adinendra, mungkin sekitar tiga puluh lima tahun. Wajahnya keras, dengan tatapan yang penuh perhitungan.
"Apakah ini pemuda yang kau anggap pantas?" tanyanya pada Panji Anggajaya.
Panji Anggajaya menoleh sekilas. “Ia akan membuktikan dirinya sendiri.”
Adinendra memperhatikan orang itu dengan cermat. Dari pakaiannya dan cara bicaranya, jelas ia bukan sembarang orang. Ia mungkin seorang pejabat tinggi, atau seseorang yang punya akses langsung ke dalam lingkaran istana.
“Aku Singajaya, tangan kanan Sang Patih,” kata lelaki itu, seakan menjawab pertanyaan yang belum sempat diutarakan Adinendra. “Aku yang akan menilai apakah kau layak menjadi Bhayangkara atau hanya bocah yang ingin bermain perang-perangan.”
Adinendra menekan rahangnya, menahan dorongan untuk membalas ucapan itu dengan amarah. Ia sudah belajar bahwa seorang Dharmaputra tidak boleh mudah terpancing.
Panji Anggajaya melangkah maju, mendekati Adinendra. "Tugas pertamamu adalah menemukan pengkhianat yang bersembunyi di dalam istana. Tetapi ingat, jangan percaya pada siapa pun dengan mudah. Bahkan mereka yang tampak berada di pihak raja bisa saja mengkhianati Majapahit."
Angin malam kembali berembus, membawa aroma anyir yang samar. Mungkin bukan hanya keringat prajurit, tetapi juga pertanda darah yang akan tumpah sebelum fajar menyingsing.