Manggala Dari Paitunan-4
Bab 4: Jejak di Alas Tirta Manik
Senja telah turun saat Naren dan Wiro Pamotan mulai memasuki batas Alas Tirta Manik, sebuah hutan lebat yang terkenal angker dan nggegirisi karena berbagai binatang buasnya, hutan yang sering disebut juga Alas Tarik. Matahari yang perlahan menghilang di ufuk barat menyisakan semburat merah di langit, sementara bayangan pepohonan semakin panjang, menyelimuti jalan setapak dengan kegelapan yang merayap.
"Kita harus bergerak lebih cepat," ujar Wiro Pamotan dengan suara rendah. "Jika para pengkhianat mendahului kita, rencana mereka akan segera berjalan sebelum kita sempat menggagalkannya."
Naren mengangguk. Ia merasakan udara di sekelilingnya mulai berubah. Angin lembab bertiup dari arah timur, membawa aroma tanah basah yang khas. Di kejauhan, suara burung malam mulai terdengar, bersahutan dengan desir angin yang menerpa pepohonan tinggi.
Perjalanan Melalui Hutan yang Berbahaya
Mereka menyusuri jalur setapak yang semakin menyempit di antara rimbunan pohon besar. Tanah di bawah kaki mereka masih keras karena belum lama terkena panas matahari, tetapi jejak-jejak kaki yang tertinggal menunjukkan bahwa seseorang atau sekelompok orang telah melewati jalur ini lebih dulu.
"Mereka sudah di depan kita," bisik Naren.
Wiro Pamotan menunduk, mengamati jejak-jejak tersebut. "Ada lebih dari tiga orang. Mereka bergerak cepat, tapi kita masih bisa menyusul."
Mereka melanjutkan perjalanan dengan langkah lebih ringan, menggunakan teknik meringankan tubuh agar tidak menimbulkan suara berlebihan. Semakin dalam mereka masuk ke hutan, semakin gelap dan lembab udara di sekitar mereka.
Saat malam mulai menyelimuti hutan, cuaca tiba-tiba berubah drastis. Langit yang semula hanya diselimuti awan tipis kini menjadi gelap pekat. Petir menyambar di kejauhan, diikuti suara gemuruh yang menggetarkan pepohonan. Tanda hujan badai akan segera turun.
"Kita harus menemukan tempat berlindung," kata Wiro Pamotan. "Jika hujan turun terlalu deras, tanah di sini akan berubah menjadi lumpur, dan kita bisa terjebak."
Misteri di Balik Hujan Badai
Mereka menemukan sebuah pohon besar dengan akar menggantung yang cukup lebat untuk berlindung sementara. Tak lama, hujan mulai turun dengan deras, membasahi daun-daun dan tanah dengan suara gemuruh yang menutupi hampir semua suara lain.
Naren memejamkan mata sejenak, merasakan dinginnya setiap tetesan air hujan yang mulai membasahi tubuhnya. "Hujan ini bisa jadi keuntungan bagi kita," katanya. "Namun jejak kelompok orang yang mendahului kita juga akan terhapus oleh air."
Wiro Pamotan mengangguk setuju. "Tapi juga berarti kita harus lebih berhati-hati. Jika kita tidak bisa melihat jejak mereka, maka kita harus mengandalkan ilmu titen."
Tiba-tiba, dari kejauhan, terdengar suara gemerisik di balik semak-semak. Naren segera merunduk, menyiapkan dirinya. Seseorang atau sesuatu sedang mengawasi mereka.
Dalam cahaya kilat yang sesekali menyambar langit, Naren melihat sesosok bayangan bergerak cepat di antara pepohonan. Tidak ada suara langkah kaki yang jelas, tetapi kehadiran sosok itu terasa nyata.
"Kita tidak sendirian di sini," bisik Naren.
Wiro Pamotan menajamkan pandangannya. "Siap bertempur jika perlu. Tapi jangan lakukan serangan dulu. Kita harus tahu siapa mereka."
Dari balik hujan deras, muncul dua sosok berjubah gelap yang berdiri tegak di antara pepohonan. Mata mereka berkilat dalam gelap, mengawasi Naren dan Wiro tanpa ekspresi.
Pertempuran di Tengah Hujan
Tanpa peringatan, salah satu dari mereka melesat ke arah Naren, menebaskan senjata berbilah tipis yang hampir tak terlihat dalam gelap. Naren berkelit dengan sigap, melompat mundur sementara Wiro Pamotan menghadapi lawannya sendiri yang menyerang dengan kecepatan luar biasa.
"Mereka bukan orang biasa," kata Wiro Pamotan di tengah pergerakan. "Teknik mereka terlalu rapi untuk sekadar penyamun."
Naren tidak menjawab. Ia sedang sibuk menangkis serangan bertubi-tubi dari lawannya yang gesit. Kilatan petir kembali menyambar, sekejap menerangi pertarungan mereka di bawah hujan deras.
Setelah beberapa kali adu jurus, Naren berhasil menangkap celah. Dengan gerakan cepat, ia menghindar ke samping dan menendang lutut lawannya, membuatnya kehilangan keseimbangan. Wiro Pamotan menggunakan kesempatan ini untuk melumpuhkan lawannya dengan satu pukulan di titik tertentu di bahunya, membuatnya terjatuh.
Para penyerang yang tersisa menyadari bahwa mereka tak bisa menang dan segera mundur ke dalam kegelapan hutan.
Saat Naren dan Wiro masih bersiaga, terdengar suara berat dari dalam gubug. "Cukup sudah, tak perlu bertarung lebih lama. Aku sudah menyaksikan kecakapan kalian."
Mereka menoleh dan melihat seorang lelaki tua berjubah sederhana berdiri di ambang pintu gubug, ditemani beberapa orang yang tampaknya adalah pengikutnya. Kyai Lembu Jagratara.
Ia menatap mereka dengan tajam, lalu berkata dengan suara yang berat dan penuh makna, "Kalian tidak punya banyak waktu. Mereka sudah lebih dekat dari yang kalian kira."
Sebelum Naren dan Wiro bisa menanggapi, terdengar suara langkah kaki mendekat dari luar. Apakah ini kawan atau ancaman baru yang mengintai dalam kegelapan?
Bersambung...