Manggala Dari Paitunan-5

Bab 5: Keputusan di Tengah Badai
Terungkapnya Informasi Rahasia. 


Di dalam gubug sederhana di pinggiran Alas Tirta Manik, cahaya ublik berpendar lembut di antara bayang-bayang kayu tua. Naren dan Wiro duduk bersila di hadapan Kyai Lembu Jagratara, yang tampak tenggelam dalam pikirannya. Di hadapannya, sebuah naskah kuno berisi sandi rahasia terbentang di atas tikar pandan.

"Kalian harus tahu," ucap Kyai dengan suara berat, "pengkhianatan ini lebih besar dari yang kalian kira. Ini bukan sekadar rencana pemberontakan kecil."

Ia menelusuri tulisan-tulisan di naskah itu dengan jemarinya yang keriput. “Ini adalah bagian dari dokumen rahasia kerajaan—jejak pengkhianatan yang sudah lama berakar.”

Naren menatapnya dengan tajam. "Apakah ada dalang dari dalam istana sendiri?"

Kyai Lembu Jagratara mengangguk perlahan. "Ya. Ada seseorang yang berkuasa yang mendukung kelompok pemberontak. Ia ingin menggulingkan Sang Mahapatih sebelum rencana besar Majapahit terlaksana."

Wiro mengepalkan tangannya. "Kalau begitu, kita harus segera melapor kepada Sang Mahapatih. Kita tak punya banyak waktu!"

Serangan Tengah Malam. 

Sebelum Kyai bisa menjawab, tiba-tiba terdengar suara langkah kaki mendekat di luar. Suara desir angin berubah menjadi bisikan maut yang merayap di antara hujan yang belum sepenuhnya reda.

Sebuah anak panah beracun melesat menimbulkan suara bersiut panjang, lalu menancap di tiang gubug! Naren dan Wiro segera tersadar, dan bergerak cepat menarik Kyai ke tempat yang lebih aman.

Para penyerang telah tiba.

"Lindungi Kyai!" seru Wiro seraya melompat keluar, menghadang tiga orang berpakaian gelap yang sudah menghunus keris mereka.

Pertarungan berlangsung sengit di bawah cahaya bulan yang tersisa. Kilatan pedang dan keris beradu di antara gemuruh hujan yang masih tersisa di dedaunan. Naren berputar cepat, menangkis serangan dari dua lawan sekaligus. Sementara itu, Wiro berhasil menjatuhkan salah satu penyerang dengan pukulan yang terarah ke ulu hatinya.

Namun, musuh terlalu banyak. Seorang murid Kyai yang membantu mereka terkena sabetan pedang lawan di bahunya, membuatnya jatuh tersungkur. Kyai Lembu Jagratara menatap kejadian itu dengan sorot tajam.

"Kita harus pergi dari sini," katanya akhirnya. "Mereka hanya pendahulu. Jika kita tetap di sini, kita semua akan mati."

Dengan cepat, mereka melarikan diri menuju tepian sungai melalui beberapa celah pohon besar dan rimbunnya bambu petung yang ada dibelakang gandok, meninggalkan gubug yang mulai dikepung dari berbagai sisi. Setelah mengambil jarak yang cukup jauh dan berhasil menghindari kejaran musuh, mereka beristirahat dibawah rerimbunan pohon dengan penuh kewaspadaan, sambil seluruh panca indera mereka manfaatkan secara penuh untuk mendeteksi setiap gerakan disekitar mereka yang bisa jadi pertanda musuh berhasil mengejar mereka.

Perjalanan Menuju Kota Raja dengan Menyamar.

Di pagi hari setelah mereka meyakinkan keadaan lebih aman, dan mereka melanjutkan perjalanan, mereka tiba di tepi Sungai Brantas, lalu dengan bergegas mereka mengatur pakaian dan penampilan mereka untuk selanjutnya menyamar sebagai pedagang keliling yang mengangkut barang dagangan dengan perahu gethek. 

Wiro duduk di bagian belakang, sementara Naren berpura-pura mengikat tali gethek. Kyai Lembu Jagratara mengenakan caping lebar, menutupi wajahnya dari mata-mata yang mungkin mengintai.

"Jalur darat terlalu berbahaya," ujar Kyai. "Mereka pasti sudah menyebar telik sandi untuk menangkap kita. Jalur air adalah satu-satunya cara."

Selama perjalanan, mereka berpapasan dengan sebuah pos penjagaan rahasia. Seorang prajurit menatap mereka curiga. Pertemuan itu sejatinya cukup mengejutkan, namun kewaspadaan dan ketenangan Naren, Wiro dan Kyai berhasil mempertahankan penyamaran mereka. 

"Kalian dari mana?" tanyanya tegas.

Naren menunduk hormat. "Kami hanya pedagang yang hendak membawa dagangan ke pasar kota, Ki Lurah."

Prajurit itu menatap mereka sejenak, lalu memberi isyarat agar mereka melanjutkan perjalanan. Mereka lolos, tetapi ketegangan tetap menggantung di udara.

Pertemuan di Istana dan Intrik Politik

Setelah menempuh perjalanan yang cukup panjang melewati berbagai rintangan, mereka akhirnya tiba di Kotā Raja. Setelah menyelinap dengan penuh kehati hatian masih dalam penyamaran mereka sebagai rombongan pedagang keliling, mereka berhasil bertemu dengan seorang kepercayaan di dalam istana yang dikenal oleh Kyai Lembu Jagratara. Setelah melakukan pembicaraan secara rahasia,  mereka diatur untuk menghadap Sang Mahapatih yang berada di lingkungan kerajaan.

Untuk menghindari kecurigaan para punggawa dan prajurit dan pejabat kerajaan yang lain, orang kepercayaan Sang Mahapatih menyarankan mereka untuk berpisah sementara, dimana orang kepercayaan melanjutkan langkahnya bersama Kyai untuk bertemu tangan kanan Sang Mahapatih, sedangkan Naren dan Wiro diminta berganti pakaian mereka yang asli, dan menunggu disebuah emperan wantilan di taman istana  di mana mereka bertemu dengan seseorang yang tak mereka duga.

Di bawah rerimbunan pohon sawo kecik, seorang wanita muda dengan kulit kuning langsat dan paras ayu tampak duduk dengan anggun, didampingi Mbok Emban dan beberapa prajurit pengawal. Mereka hanya berjarak beberapa galah dari tempat Naren dan Wiro duduk di teras wantilan itu. Namun demikian, demi menjaga kesopanan dan kepatutan, mereka tetap menundukkan wajah mereka, tak berani menatap sang putri ayu itu, meski sesekali kerling mata mereka mencuri pandang untuk mengagumi keayuan sang putri. 

Sejurus kemudian, sang pengawal memberikan salam kepada Naren dan Wiro, sambil menjelaskan secara singkat siapa putri ayu yang berada di hadapan mereka. "Ini adalah Ndoro Putri Ajeng, Dyah Rahajeng Kusumawardhani," ujar pengawal mereka dengan hormat.

Naren dan Wiro segera merunduk dalam-dalam dengan kedua tangan mengatup menghaturkan sembah sebagai bentuk penghormatan kepada sang putri. 

Ndoro Putri Ajeng menatap mereka dengan lembut, tetapi ada ketajaman dalam sorot matanya. "Aku sudah mendengar tentang kalian berdua. Kalian telah melalui perjalanan yang sulit."

Tatapannya tertuju pada Wiro lebih lama daripada Naren. Ada sesuatu dalam caranya berbicara yang membuat Wiro sedikit tak nyaman, meski tetap menjaga sikap hormatnya.

"Aku tahu kalian ingin bertemu dengan Sang Mahapatih," lanjutnya. "Tapi banyak mata yang mengawasi kalian. Jangan sampai langkah kalian malah menjadi perangkap bagi diri sendiri." Naren dan Wiro tanpa sengaja menjawab hampir serentak "Kasinggihan,  sendiko dawuh Ndoro Putri Ajeng". 

Sebelum mereka bisa menanggapi lebih jauh pembicaraan itu, seorang pengawal istana datang tergopoh gopoh mendekati sang putri dan menyampaikan pesan. "Ndoro Putri, ada yang mencari mereka!"

Mata Ndoro Putri Ajeng menyipit. "Siapa?"

"Seorang pejabat tinggi kerajaan," jawab pengawal itu dengan suara tegang. "Ia menuduh mereka bersekongkol dengan pengkhianat!"

Naren dan Wiro tersentak demi mendengar berita itu. Sesaat Naren dan Wiro limbung, saling berpandangan, seolah saling bertanya "Kenapa jadi begini? ". Keadaan berubah drastis—dari upaya melaporkan pengkhianatan, mereka kini menjadi buruan di dalam istana sendiri.

Bersambung...

Popular posts from this blog

Manggala Dari Paitunan

Misteri Drumband yang Hilang di Angin Pagi

Saat Malam Tak Perlu Dijelaskan