Hukum yang Runtuh: Saat Periuk Nasi Lebih Berharga dari Keadilan
....Selama politik masih berbasis transaksi finansial, hukum akan tetap menjadi alat tawar-menawar.....
Dahulu, hukum adalah benteng terakhir dalam sebuah negara. Ia berdiri tegak, menjadi pemisah antara keadilan dan kesewenang-wenangan. Namun kini, hukum tak lagi kokoh. Ia telah berubah menjadi alat permainan, bukan untuk menjaga ketertiban, melainkan untuk mengamankan kepentingan mereka yang punya kuasa. Ketika politik berubah menjadi medan pertempuran memperebutkan sumber daya, lembaga hukum pun ikut terseret, bukan lagi sebagai penegak aturan, melainkan sebagai alat transaksi.
Di era politik yang semakin memanas, hukum kehilangan pijakan moralnya. Lembaga-lembaga yang seharusnya menjaga keadilan justru berfungsi sebagai alat tawar-menawar. Polisi, kejaksaan, dan pengadilan tak lagi bekerja berdasarkan prinsip kebenaran, tetapi berdasarkan siapa yang memiliki pengaruh dan dana paling besar. Penegakan hukum bukan lagi soal benar atau salah, tetapi soal siapa yang lebih kuat dalam negosiasi.
Kasus demi kasus membuktikan bahwa hukum di negeri ini bukan lagi panglima, melainkan sekadar alat dalam permainan elite. Lihat bagaimana petinggi Mahkamah Agung kedapatan menerima gratifikasi miliaran rupiah dalam bentuk tunai, sampai bingung menyimpannya dan akhirnya memilih menumpuknya di rumah. Ini bukan sekadar ironi, tetapi bukti nyata bahwa sistem yang seharusnya menjadi pilar keadilan telah berubah menjadi sarang korupsi.
Namun, yang lebih berbahaya dari sekadar korupsi di level atas adalah bagaimana praktik ini merambat ke seluruh sistem dalam pola hirarkis yang kaku. Ketika pemimpin lembaga hukum sudah bermain kotor, hampir pasti semua yang berada di bawahnya ikut bermain. Hukum berubah menjadi kerajaan-kerajaan kecil, di mana setiap level merasa memiliki kekuasaan dan ikut memanfaatkan celah untuk mendapatkan bagian mereka. Di bawah kepemimpinan yang bobrok, pejabat-pejabat di level menengah dan bawah berlomba-lomba mencari keuntungan, membentuk patronase mereka sendiri, bertindak seolah raja-raja kecil yang memegang kendali atas nasib rakyat yang tersangkut masalah hukum.
Siapa yang menjadi korban? Jawabannya selalu rakyat. Sistem yang korup menekan ke bawah, menghancurkan mereka yang lemah, yang tidak punya akses ke jaringan kekuasaan atau uang suap untuk menyelamatkan diri. Rakyat menjadi obyek eksploitasi, baik mereka yang memang melanggar hukum maupun mereka yang hanya terseret tanpa kesalahan yang nyata. Dalam sistem seperti ini, seseorang bisa tiba-tiba menjadi tersangka bukan karena ia bersalah, tetapi karena ada pihak yang ingin mengambil keuntungan darinya. Hukum tak lagi menjadi tempat mencari keadilan, melainkan arena perburuan di mana yang kuat menang dan yang lemah menjadi korban.
Keadaan ini semakin diperparah ketika para wakil rakyat, yang seharusnya menjadi pengawas jalannya hukum, justru ikut serta dalam lingkaran yang sama. Mereka menggunakan hukum sebagai senjata untuk menekan lawan politik atau mengamankan kepentingan pribadi. Ketika ada peluang, mereka tak segan-segan menjadi bagian dari permainan, memastikan bahwa setiap celah yang bisa dimanfaatkan tidak terbuang percuma.
Bukan kebetulan jika kasus-kasus hukum sering kali tiba-tiba menghilang, seolah tak pernah ada. Bukan rahasia pula bahwa keputusan-keputusan pengadilan sering kali bisa diatur, bukan berdasarkan asas keadilan, tetapi berdasarkan negosiasi di balik layar. Orang yang berkuasa bisa bebas, sementara rakyat kecil dihukum berat. Siapa yang berani membongkar permainan ini? Mereka yang berani, sering kali diintimidasi, ditekan, atau bahkan dikriminalisasi dengan dalih hukum yang sengaja dipelintir.
Dampaknya bagi masyarakat sangat nyata. Ketidakadilan hukum membuat rakyat kehilangan kepercayaan terhadap negara. Mereka yang seharusnya mendapat perlindungan justru menjadi korban sistem yang korup. Kesadaran bahwa hukum bisa diperjualbelikan menciptakan ketidakpedulian kolektif, di mana masyarakat tidak lagi berharap ada perubahan. Dalam kondisi ini, mereka yang memiliki kuasa semakin leluasa, sementara rakyat hanya menjadi saksi dari kerusakan yang terus berlangsung.
Hari ini, kita melihat betapa hukum semakin menjadi barang dagangan. Isu moralitas dan kebudayaan bisa dimainkan untuk menekan bisnis tertentu, bukan karena ada kepedulian yang tulus, tetapi karena ada transaksi yang harus diselesaikan. Mereka yang berteriak lantang soal moralitas, dalam banyak kasus, justru hanya menjadikan isu ini sebagai alat untuk mendapatkan bagian dari transaksi yang sedang berlangsung.
Lalu, apakah sistem ini masih bisa diperbaiki? Selama politik masih berbasis transaksi finansial, hukum akan tetap menjadi alat tawar-menawar. Selama tidak ada keberanian untuk memutus rantai kepentingan ini, rakyat akan terus menjadi korban, dan mereka yang berkuasa akan terus menikmati hasil dari sistem yang mereka buat sendiri.
Pertanyaannya, apakah kita sedang menuju titik balik? Atau justru ini adalah realitas permanen yang harus diterima sebagai bagian dari cara kerja hukum di negeri ini?