Ketika Etika dan Moral Dijungkirbalikkan: Siapa yang Akan Meluruskan

...Mereka yang seharusnya menjadi teladan justru memberi contoh bagaimana memanipulasi sistem...

Dulu, kita diajarkan bahwa benar adalah benar, dan salah adalah salah. Bahwa ada nilai-nilai yang menjadi pegangan, ada batas-batas yang tidak boleh dilanggar, ada rasa malu yang menjaga manusia tetap beradab. Tapi lihatlah dunia sekarang. Benar dan salah bukan lagi soal prinsip, melainkan soal kepentingan. Yang dulu dianggap mulia kini ditertawakan, yang dulu dianggap hina kini diagungkan.

Hukum dan keadilan telah menjadi barang dagangan. Etika dan moralitas tidak lagi menjadi batas, tetapi justru dipermainkan agar sesuai dengan kebutuhan penguasa. Kecurangan tidak lagi dianggap dosa, melainkan bukti kecerdikan. Kejujuran bukan lagi kebanggaan, tapi justru bahan ejekan. "Bodoh sekali kau kalau masih percaya hukum itu adil," begitu kata mereka yang sudah lama tenggelam dalam pragmatisme.

Kita hidup di zaman di mana rasa malu telah mati.

Mereka yang seharusnya menjadi teladan justru memberi contoh bagaimana memanipulasi sistem. Mereka yang seharusnya menjaga nilai malah sibuk menciptakan dalih untuk membenarkan yang salah. Apa yang terjadi jika ini terus dibiarkan? Apa yang terjadi jika generasi muda tumbuh dalam lingkungan yang mengajarkan bahwa uang lebih berkuasa daripada kejujuran, bahwa kepintaran bukan lagi soal ilmu, tapi soal bagaimana menipu tanpa tertangkap?

Ketika pemimpin negeri ini tanpa segan berkata, "Etik, etik ndasmu," itu bukan sekadar ungkapan kasar. Itu adalah sinyal bahwa etika kini dianggap tidak penting, bahwa nilai moral bisa dibuang jika sudah tidak sesuai dengan kebutuhan kekuasaan. Jika orang yang seharusnya menjadi panutan sudah terang-terangan mengabaikan etika, maka jangan heran jika rakyat perlahan mulai menganggap bahwa moralitas hanyalah ilusi, hanya omong kosong yang bisa dibentuk sesuai keinginan mereka yang berkuasa.

Lalu, siapa yang bertanggung jawab untuk memperbaiki ini?

Seharusnya, kaum budayawan menjadi penjaga nilai dan identitas moral bangsa. Tapi banyak dari mereka yang memilih diam atau justru ikut terbawa dalam sistem. Budayawan yang masih idealis sering kali dipinggirkan, dianggap kuno, atau bahkan dibungkam oleh dominasi arus pragmatisme. Budaya yang dulu menjadi pegangan, kini justru menjadi barang dagangan.

Seharusnya, para pemuka agama menjadi benteng terakhir moralitas. Tapi dalam banyak kasus, mereka justru terseret dalam politik praktis dan kepentingan ekonomi. Sebagian dari mereka lebih sibuk mempertahankan institusi dan pengaruhnya daripada benar-benar berjuang untuk nilai-nilai kebaikan. Ada yang masih tulus memperjuangkan kebenaran, tetapi jumlahnya makin sedikit dan sering kalah suara oleh mereka yang lebih memilih berkompromi.

Dulu, kaum intelektual dan akademisi adalah benteng terakhir kejujuran. Kampus adalah pusat perlawanan moral dan intelektual. Sekarang? Banyak yang memilih nyaman di zona aman, enggan melawan arus, dan bahkan ikut menikmati privilese dari sistem yang ada. Ada yang masih kritis, tapi suara mereka tenggelam oleh kepentingan politik yang lebih besar. Mereka yang seharusnya membimbing generasi muda justru banyak yang tersandera oleh kepentingan pragmatis.

Dan kaum muda? Mereka yang seharusnya menjadi harapan, justru kini dibombardir oleh budaya instan. Mereka tumbuh dalam lingkungan yang mengajarkan bahwa keberhasilan bukan ditentukan oleh kerja keras dan integritas, tetapi oleh seberapa cepat mereka bisa memanipulasi keadaan, atau tanpa malu mengandalkan bantuan bapaknya. Ketika setiap hari yang mereka lihat adalah bagaimana orang-orang yang korup malah hidup nyaman, bagaimana para pembohong justru mendapat panggung, bagaimana hukum hanya berlaku bagi mereka yang tak punya kuasa, maka jangan salahkan jika generasi berikutnya tumbuh dalam mentalitas bahwa moralitas hanyalah pilihan, bukan keharusan.

Jika semua yang seharusnya bertanggung jawab justru melemah atau bahkan ikut bermain, siapa lagi yang tersisa?

Jawabannya sederhana: mereka yang masih peduli.

Tidak harus budayawan. Tidak harus ulama. Tidak harus akademisi. Siapa pun yang masih memiliki kesadaran bahwa ada yang salah di negeri ini, merekalah yang harus berbicara. Mereka yang masih punya hati, mereka yang masih bisa merasa marah ketika melihat keadilan diinjak-injak, mereka yang masih memiliki keberanian untuk berkata bahwa benar adalah benar dan salah adalah salah, bukan tergantung siapa yang berbicara atau berapa banyak uang yang ditawarkan.

Karena jika tidak ada yang berdiri untuk meluruskan, maka kita akan menyaksikan kehancuran total. Kita akan melihat generasi yang tumbuh tanpa arah, yang tidak lagi percaya pada kejujuran, yang menganggap bahwa keberanian bukanlah soal membela yang benar, tetapi soal seberapa jauh mereka bisa memanipulasi keadaan tanpa ketahuan.

Dan ketika hari itu tiba, kita tidak bisa lagi bertanya, "Kenapa dunia jadi begini?" Karena jawabannya adalah, "Karena kita membiarkannya terjadi."

Gusti Allah mboten sare..... 

Popular posts from this blog

Manggala Dari Paitunan

Misteri Drumband yang Hilang di Angin Pagi

Saat Malam Tak Perlu Dijelaskan