Petualangan Masa Kecil


Pagi itu, matahari masih setengah naik di ufuk timur. Udara segar berembus perlahan, membawa aroma tanah basah yang khas dari kampung Ketanggungan, Yogyakarta, tahun 1975-an. Cahaya matahari yang lembut menyapu jalanan desa yang masih lengang, hanya sesekali dilalui sepeda dan becak. Kendaraan bermotor masih jarang, sehingga suasana terasa lebih tenang dan alami.

Aku tidak sendiri. Tetanggaku, Ngatino, yang beberapa tahun lebih tua dariku, sudah siap dengan sepedanya. Kami akan pergi berburu burung di sawah dan tegalan di belakang Panti Sosial Nitipuran, yang kala itu lebih akrab kami sebut Tipuran. Senapan angin kaliber 4.5 tersampir di punggungku, dan sekotak peluru pelet tersimpan rapi di saku celanaku.

Perjalanan dimulai dari kampung Ketanggungan, menuju arah barat melewati kampung Suronggaman. Nama kampung ini membawa cerita-cerita seram yang sudah lama menjadi bagian dari cerita rakyat sekitar. Konon, orang-orangnya dikenal keras dan sulit ditebak. Maka, setiap kali melewati kampung itu, aku dan Ngatino selalu merasa sedikit waspada.

Setelah melewati Suronggaman, kami terus bersepeda ke selatan hingga tiba di Jalan Patangpuluhan yang sekarang dikenal sebagai jalan Madumurti. Kemudian kami berbelok ke kanan, melewati jembatan kecil di atas Kali Lonthe—sungai kecil yang kemudian lebih dikenal dengan nama Kali Widuri. Di sepanjang perjalanan, suara burung trucukan atau yang biasa disebut manuk throthokan oleh orang Jogja terdengar jelas. Bunyinya yang khas, "trok tok tok tok," mengisi udara pagi yang masih sejuk. Tak jauh dari sana, burung prenjak beterbangan lincah di semak-semak dan pepohonan pinggir jalan. Setiap kicauannya di sekitar rumah ditengarai sebagai pertanda akan hadirnya tamu dirumah itu. Kala itu, burung prenjak masih banyak dijumpai berkeliaran di kampung dan persawahan, belum diburu seperti sekarang, di mana keberadaannya di alam liar hampir tak tampak lagi kecuali mungkin dicari di pasar burung Pasty di Jalan Bantul. 

Kami terus mengayuh sepeda hingga sampai di perempatan kecil Sonosewu, lalu berbelok ke kiri menuju ujung jalan di mana pagar tinggi Panti Sosial menjulang kokoh. Di pojok kanan perempatan Tipuran, ada sebuah rumah semi permanen yang sering kami lewati. Rumah itu tampak sederhana, dikelilingi pekarangan kecil yang penuh tanaman hijau. Aroma masakan dari dapurnya sering tercium saat kami lewat, menambah kehangatan suasana pagi itu.

Setiba di ujung jalan beraspal, kami berbelok ke kiri, memasuki jalan tanah yang diapit oleh pohon-pohon rimbun. Pepohonan sengon tinggi menjulang di sepanjang jalan, menciptakan bayangan yang sejuk. Di sisi kanan, pagar Panti Sosial masih membatasi pandangan kami, sementara di sisi kiri terbentang sawah luas dan kebun-kebun pisang serta bambu.

Tiba-tiba, dari kejauhan sekitar 30 meter, aku melihat sesuatu menggantung di antara dahan pohon sengon. Aku segera meminta Ngatino berhenti. Sepintas, benda itu terlihat seperti tali, tetapi warnanya hijau. Aku memperhatikan lebih saksama dan menyadari bahwa itu adalah seekor ular dadung hijau yang sedang mengintai mangsanya dari ketinggian. Kala itu kami membayangkan betapa ngerinya kalau kami melaju di bawahnya, lalu ular itu menjatuhkan diri  atau mematuk ubun ubun lalu memangsa kami yang melintas dibawahnya, hiiiiii...... 

Dengan hati-hati, aku mengambil senapan anginku, mengokang, dan membidik. Entah mengenai atau tidak, ular itu segera melesat naik ke dahan yang lebih tinggi dan menghilang dari pandangan kami. Sempat merasa ragu untuk melanjutkan perjalanan, kami akhirnya memberanikan diri dan mengayuh sepeda lebih cepat melewati tempat itu.

Tak lama, kami sampai di area persawahan luas yang sebelumnya ditanami tebu untuk diolah di pabrik gula Madukismo, di selatan kota Jogja. Di tegalan yang kini mulai ditumbuhi rumput liar, kami mencari burung tekukur. Warna bulunya yang kecoklatan menyatu dengan tanah, membuatnya sulit dikenali dari kejauhan. Beberapa kali aku dan Ngatino bergantian membidik, tetapi burung-burung itu selalu lebih cepat terbang sebelum tembakan kami mengenainya.

Kami menghabiskan waktu berjam-jam, bercanda, berbagi cerita, dan tertawa di bawah rindang pohon. Kadang aku yang membonceng di depan, kadang giliran Ngatino. Kami merasa seperti pejuang yang kembali dari medan perang, membawa senapan angin di punggung kami.

Saat matahari semakin tinggi, kami memutuskan untuk mengakhiri petualangan hari itu. Dengan hati gembira dan semangat yang masih membara, kami kembali bersepeda menyusuri jalan yang sama, melewati sawah, kampung-kampung, dan akhirnya tiba di rumah dengan membawa kisah seru yang akan kami kenang seumur hidup.

Popular posts from this blog

Manggala Dari Paitunan

Misteri Drumband yang Hilang di Angin Pagi

Saat Malam Tak Perlu Dijelaskan