Bius Informasi dan Pengendalian Narasi

....Dalam sejarah, perubahan tidak pernah datang dari mereka yang diam. .... 

Di tengah derasnya arus informasi yang mengalir tanpa henti, ada satu hal yang justru tidak terdengar: demonstrasi mahasiswa dan aksi-aksi protes terhadap berbagai kebijakan pemerintah. Setiap hari, berbagai kelompok turun ke jalan, menyuarakan penolakan atas kebijakan yang mereka anggap merugikan rakyat, dari isu lingkungan, ketimpangan sosial, hingga kebijakan ekonomi. Namun, anehnya, aksi-aksi ini seolah tidak ada. Tidak ada liputan media besar, tidak ada perbincangan hangat di media sosial, bahkan seakan lenyap dari kesadaran publik.

Apakah aksi-aksi ini tidak cukup besar? Apakah gerakan ini tidak cukup penting? Ataukah ada sesuatu yang lebih besar sedang terjadi, sesuatu yang bekerja secara sistematis untuk memastikan bahwa demonstrasi dan suara kritis tidak mencapai khalayak luas?

Mengendalikan Narasi, Mengendalikan Kesadaran
Sejarah telah membuktikan bahwa menguasai informasi berarti mengendalikan kekuasaan. Dalam banyak rezim, kontrol atas arus informasi menjadi alat utama untuk mempertahankan dominasi. Bukan dengan menekan langsung, tetapi dengan cara yang lebih halus: membanjiri ruang publik dengan narasi yang telah dikendalikan, mengalihkan perhatian masyarakat, dan meminimalisir eksposur terhadap gerakan yang mengganggu keseimbangan kekuasaan.

Di Indonesia, pola ini semakin terasa. Media mainstream, terutama televisi nasional dan portal berita besar, cenderung hanya menyoroti isu-isu yang dianggap “aman” bagi stabilitas politik. Liputan tentang demonstrasi mahasiswa, jika pun ada, sering kali hanya sepintas lalu, diselipkan di antara berita ekonomi yang optimistis dan kisah-kisah ringan dari dunia hiburan.

Namun, pengendalian tidak hanya terjadi di media mainstream. Media sosial, yang seharusnya menjadi ruang alternatif bagi suara kritis, juga semakin terkendali. Algoritma platform digital sering kali memprioritaskan konten yang dianggap "menarik" dan "aman," yang sering kali berarti lebih banyak video viral, hiburan ringan, dan tren konsumtif dibandingkan diskusi politik atau pergerakan sosial. Demonstrasi yang tidak menguntungkan narasi kekuasaan lebih mudah tenggelam di antara banjir informasi lain yang terus-menerus diperbarui.

Siapa yang Mengendalikan?
Fenomena ini tidak bisa dilepaskan dari peran kelompok elite yang memiliki kepentingan langsung dalam mempertahankan stabilitas kekuasaan. Mereka terdiri dari penguasa politik, konglomerat media, konsultan strategi, dan teknokrat informasi yang bekerja sama untuk memastikan bahwa narasi yang mendominasi publik tetap sesuai dengan kepentingan mereka.

Di balik layar, ada tangan-tangan yang mengatur ritme informasi. Mereka tidak perlu menyensor secara terang-terangan, cukup dengan memastikan bahwa isu-isu kritis tidak mendapatkan perhatian besar, sementara isu lain yang lebih "menghibur" atau "positif" diperkuat. Dalam skenario ini, demonstrasi bukan dilarang, tetapi dibuat tidak relevan.

Bahkan ketika aksi massa tetap terjadi, tidak ada tekanan besar dari publik karena masyarakat sudah lebih dulu kehilangan kepekaan terhadap perlawanan sosial. Masyarakat sudah terbiasa tidak melihat protes sebagai sesuatu yang penting, dan inilah puncak dari strategi pengendalian narasi yang telah berlangsung lama: ketika rakyat tidak lagi merasa bahwa mereka perlu peduli.

Astuto dan Strategi Kekuasaan
Dalam diskusi ini, muncul gambaran tentang Astuto, simbol dari pemimpin pragmatis yang memahami bahwa kekuasaan bukan hanya soal kebijakan, tetapi juga soal mengendalikan apa yang dilihat, didengar, dan dipikirkan oleh masyarakat.

Astuto tidak bekerja sendirian. Ia adalah bagian dari jaringan besar yang memastikan bahwa informasi yang dikonsumsi publik sudah tersaring dan dikendalikan sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan ancaman bagi stabilitasnya. Dalam strategi ini, tidak perlu membungkam kritik secara terang-terangan. Cukup memastikan bahwa kritik itu tidak sampai kepada mayoritas orang.

Astuto tahu bahwa rakyat tidak harus dibuat setuju dengan pemerintah. Yang lebih penting adalah memastikan mereka tetap sibuk dengan urusan pribadi, dengan kesulitan ekonomi mereka sendiri, dengan hiburan, dengan tren konsumsi. Selama mereka tetap terbius oleh berbagai gangguan itu, mereka tidak akan punya energi untuk mempertanyakan atau menolak kebijakan yang ada.

Masyarakat yang Terbius
Bius informasi ini bekerja seperti kabut yang perlahan menutupi kesadaran publik. Masyarakat dibuat terlalu sibuk dengan keseharian mereka, terlalu lelah untuk berpikir tentang politik, terlalu banyak distraksi untuk benar-benar peduli. Dalam kondisi ini, demonstrasi tidak hanya sulit mendapatkan perhatian, tetapi juga sulit mendapatkan dukungan.

Bahkan ketika ada segelintir orang yang sadar dan mencoba membangunkan yang lain, mereka sering dianggap sebagai pengganggu stabilitas, utopis, atau sekadar kelompok kecil yang tidak mewakili kepentingan umum. Begitu kuatnya efek bius ini, hingga protes yang seharusnya mengguncang negeri justru tenggelam dalam kesunyian.

Di sinilah letak bahaya terbesar dari pengendalian narasi. Bukan hanya soal bagaimana kekuasaan mengontrol media atau membatasi informasi, tetapi bagaimana rakyat secara perlahan kehilangan kepedulian dan rasa urgensi terhadap isu-isu besar yang menentukan masa depan mereka sendiri.

Kesadaran yang Mulai Bangkit
Namun, setiap bius memiliki batasnya. Seperti kabut yang pada akhirnya akan memudar, selalu ada celah bagi masyarakat untuk sadar kembali. Perlahan tapi pasti, di berbagai sudut negeri, ada orang-orang yang mulai mempertanyakan: mengapa kita tidak pernah mendengar demonstrasi ini? Mengapa suara kritis semakin sulit didengar? Mengapa kita terlalu sibuk untuk berpikir tentang nasib bangsa?

Kesadaran tidak datang sekaligus. Ia hadir dalam percakapan kecil, dalam tulisan yang tak sengaja dibaca, dalam diskusi di warung kopi, dalam potongan berita yang lolos dari sensor algoritma. Dan ketika cukup banyak orang yang mulai bertanya, pengendalian narasi tidak akan lagi sekuat sebelumnya.

Apa yang Akan Terjadi Selanjutnya?
Di dunia yang semakin dikendalikan oleh informasi, kesadaran adalah langkah pertama menuju perubahan. Tetapi kesadaran saja tidak cukup. Harus ada keberanian untuk berbicara, untuk mempertanyakan, untuk mengangkat kembali isu-isu yang telah lama ditekan.

Dalam sejarah, perubahan tidak pernah datang dari mereka yang diam. Ia datang dari mereka yang, meskipun kecil jumlahnya, tetap memilih untuk melawan arus dan membuka mata orang lain.

Maka pertanyaannya bukan lagi, “Mengapa kita tidak mendengar demonstrasi?” tetapi “Apa yang akan kita lakukan setelah menyadarinya?”

Dan mungkin, jawaban itu akan menentukan ke mana arah bangsa ini melangkah di masa depan.

Popular posts from this blog

Manggala Dari Paitunan

Misteri Drumband yang Hilang di Angin Pagi

Saat Malam Tak Perlu Dijelaskan