Antara Kesabaran dan Gelombang Perubahan: Bagaimana Bangsa ini Bergerak
Masyarakat yang tampaknya sabar dan menerima keadaan dalam waktu panjang sebenarnya menyimpan akumulasi tekanan yang pada titik tertentu dapat meledak menjadi gerakan besar atau amuk sosial yang sulit dikendalikan.
Dalam lintasan sejarah, bangsa Indonesia dikenal sebagai
bangsa yang mudah melupakan. Banyak peristiwa ketidakadilan, penindasan, dan
kesewenang-wenangan yang terjadi dalam berbagai periode sejarah sering kali
tidak bertahan lama dalam ingatan kolektif. Entah karena tidak ada penguatan
dalam kesadaran sosial, atau karena masyarakat lebih memilih untuk tidak
terus-menerus mengingat luka lama. Namun, di balik kecenderungan ini, terdapat
karakter lain yang tak kalah penting dalam membentuk perjalanan bangsa ini—yakni
kesabaran. Bukan berarti bangsa ini tidak menyadari ketidakadilan yang terjadi.
Namun, sering kali, pelupaan ini terjadi sebagai bagian dari strategi bertahan
hidup, menunggu waktu yang lebih tepat untuk bertindak.
Kesabaran telah menjadi bagian dari karakter bangsa ini,
membentuk pola bagaimana masyarakat merespons tekanan dan perubahan. Tidak
semua yang terlupakan benar-benar hilang; sering kali, ia hanya menunggu momentum yang tepat untuk berubah menjadi
gerakan atau perlawanan sosial. Di antara pelupaan dan kesabaran, bangsa ini
terus bergerak dalam siklus yang sama: menunggu, bertahan, dan akhirnya mencari
perubahan.
Fenomena ini bukan hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga
merupakan pola universal dalam perjalanan peradaban. Namun, dalam konteks
Indonesia, fenomena ini memiliki dinamika tersendiri yang dipengaruhi oleh
aspek psikologi sosial, sejarah panjang penjajahan dan otoritarianisme, serta
interaksi antara kondisi ekonomi dan politik. Pertanyaannya adalah: Sejauh
mana kesabaran ini bisa bertahan? Dan kapan ia berubah menjadi dorongan untuk
bergerak?
Telaah
Untuk memahami bagaimana masyarakat Indonesia mempertahankan kesabaran
yang panjang tetapi pada titik tertentu berubah menjadi ledakan sosial, perlu
ditelaah bagaimana pengalaman panjang sejarah telah membentuk pola ini.
Kesabaran kolektif tidak lahir begitu saja, melainkan merupakan warisan yang
terbentuk dari pengalaman panjang, baik dalam struktur sosial maupun dalam
sistem politik yang berlaku.
Dalam studi tentang memori dan psikologi sosial, Hermann
Ebbinghaus pada tahun 1885 mengemukakan bahwa manusia cenderung
melupakan peristiwa seiring waktu jika tidak ada penguatan ingatan (memory reinforcement). Dalam
konteks sosial, banyak ketidakadilan yang terjadi akhirnya tenggelam dalam arus
waktu karena tidak ada mekanisme yang mempertahankannya dalam kesadaran
kolektif. Hal ini menjelaskan mengapa banyak peristiwa sejarah yang mengandung
ketidakadilan tidak selalu direspons dengan cepat oleh masyarakat, tetapi
justru terbenam dan dilupakan hingga muncul kembali dalam bentuk akumulasi
keresahan. Namun, di era modern, munculnya teknologi informasi dan media sosial
mulai mengubah pola ini. Informasi yang dulu hanya beredar di lingkaran
terbatas kini bisa menyebar luas dalam hitungan detik, menciptakan kesadaran
kolektif yang lebih cepat dibandingkan masa lalu. Ketiga pendekatan ini saling
berkelindan—pelupaan membuat banyak ketidakadilan tak terselesaikan dengan
benar, sementara itu, learned helplessness menjelaskan mengapa ketahanan
bisa menjadi pilihan utama, sementara teori frustrasi-agresi menjelaskan
bagaimana semua akumulasi ini pada akhirnya bisa berubah menjadi letupan sosial
yang besar.
Di sisi lain, Martin Seligman melalui teorinya
tentang learned helplessness pada tahun 1975 menjelaskan
bagaimana individu atau kelompok yang terus-menerus mengalami represi tanpa
mampu mengubah keadaannya akan berkembang menjadi sikap pasrah. Dalam sejarah
bangsa ini, ketundukan terhadap sistem yang otoriter sering kali berakar pada
pengalaman bahwa melawan hanya akan berujung pada penderitaan yang lebih besar,
sehingga masyarakat lebih memilih bertahan dalam kesabaran yang panjang. Ketika arus informasi semakin terbuka dan masyarakat mulai melihat bagaimana
negara-negara lain merespons perubahan, muncul kemungkinan bahwa resistensi
terhadap sistem yang dianggap tidak adil menjadi lebih cepat berkembang.
Namun, kesabaran bukan berarti ketiadaan kemarahan. Dollard
dan rekan-rekannya pada 1939 menjelaskan bahwa frustrasi yang tidak
tersalurkan dalam waktu lama dapat berubah menjadi agresi yang eksplosif.
Masyarakat yang tampaknya sabar dan menerima keadaan dalam waktu panjang
sebenarnya menyimpan akumulasi tekanan yang pada titik tertentu dapat meledak
menjadi gerakan besar atau amuk sosial yang sulit dikendalikan. Sejarah
mencatat banyak kasus di mana masyarakat yang terlihat pasif selama
bertahun-tahun akhirnya meledak dalam bentuk revolusi atau pemberontakan besar.
Dalam konteks ini, kita juga bisa melihat bagaimana faktor-faktor seperti
keterbukaan media dan peran generasi muda bisa menjadi katalis yang mempercepat
laju perlawanan sosial.
Menanti Batas Kesabaran: Kapan Bangsa Ini Beranjak Dari Diam?
Sejarah menunjukkan bahwa tidak ada pola tunggal dalam
transisi dari kesabaran ke ledakan sosial. Dalam beberapa kasus, perubahan
terjadi perlahan, tetapi dalam situasi tertentu, perubahan bisa datang dengan
cepat. Ketika tekanan hanya terjadi di tingkat elit atau hanya dipahami oleh
kelompok intelektual, masyarakat luas masih bisa bersabar dalam waktu lama.
Selama kehidupan sehari-hari tetap berjalan dan kebutuhan dasar masih
terpenuhi, masyarakat cenderung menunggu dan beradaptasi daripada melawan. Ketidakpuasan
terhadap pemerintahan Soeharto, misalnya, telah muncul sejak 1970-an, tetapi
baru benar-benar meledak dalam Reformasi 1998 setelah krisis ekonomi
menghancurkan daya beli masyarakat. Begitu pula dengan rakyat Majapahit yang
tetap bertahan dalam ketidakstabilan kerajaan hingga perang saudara yang
berkepanjangan benar-benar merusak kesejahteraan mereka. Dalam sistem kolonial
Belanda, masyarakat masih bisa bertahan dalam eksploitasi yang terjadi, hingga
sistem pajak dan kerja paksa semakin menekan kehidupan mereka.
Sebaliknya, ada saat-saat di mana perubahan terjadi dalam
waktu yang jauh lebih cepat, terutama ketika krisis ekonomi atau sosial
menyentuh langsung kehidupan rakyat. Ketika harga pangan melonjak, pengangguran
meningkat tajam, dan akses terhadap kebutuhan dasar terganggu, kesabaran bisa
berubah menjadi perlawanan dalam waktu yang singkat. Revolusi Prancis meledak
setelah harga roti melonjak drastis dan rakyat mengalami kelaparan. Revolusi
Bolshevik terjadi setelah kelaparan massal akibat perang yang berkepanjangan.
Reformasi 1998 di Indonesia dipicu oleh krisis moneter yang menyebabkan harga
kebutuhan pokok melonjak dan gelombang PHK besar-besaran. Arab Spring di
berbagai negara Timur Tengah meledak setelah harga pangan naik tajam dan
pengangguran mencapai tingkat kritis.
Dalam semua kasus ini, kesabaran tidak lagi menjadi pilihan
ketika kondisi hidup masyarakat tidak bisa dipertahankan lagi. Namun, dalam era
modern, faktor seperti media, teknologi informasi, dan aktivisme digital telah
menjadi elemen yang mempercepat kesadaran kolektif masyarakat. Jika dahulu
kesabaran bisa bertahan dalam hitungan dekade, kini titik didih kemarahan
kolektif bisa lebih cepat tercapai karena informasi menyebar lebih luas dan
membentuk opini publik dengan lebih cepat.
Epilog
Karakter sabar bangsa Indonesia bukan berarti pasif, tetapi
lebih sebagai bentuk mekanisme bertahan hidup. Kesabaran ini berkembang dari
sejarah panjang represi dan sistem sosial yang mengutamakan stabilitas
dibanding konfrontasi langsung. Namun, kesabaran kolektif ini tidak berarti
tanpa batas. Perubahan sosial besar hanya terjadi ketika kepentingan rakyat
bertemu dengan momentum krisis yang tepat. Jika tekanan hanya terjadi di
tingkat elit, perubahan bisa berjalan lambat. Namun, ketika tekanan menyentuh
langsung kebutuhan dasar masyarakat, ledakan sosial bisa terjadi dalam waktu
cepat.
Di era modern, keterbukaan informasi, media sosial, dan peran
generasi muda semakin mempercepat titik didih masyarakat. Bukan sekadar
seberapa lama waktu yang dibutuhkan untuk transisi dari sabar ke meledak,
tetapi faktor apa saja yang dapat mengubah kesabaran menjadi ledakan emosi?
Apakah media dan teknologi kini telah menjadi katalis yang mempercepat
perubahan, atau justru alat untuk meredam kemarahan kolektif?
Pertanyaan-pertanyaan ini menjadi relevan dalam memahami bagaimana karakter
bangsa ini akan berevolusi di masa depan.