Aquarium Besar Bernama Dunia
Di sebuah akuarium raksasa, ribuan ikan hidup dalam keseimbangan air yang jernih, batu karang yang kokoh, ganggang yang melambai-lambai, dan aliran arus yang lembut. Bagi kebanyakan ikan, inilah dunia yang mereka kenal—cukup luas, cukup aman, dan selalu tersedia makanan.
Sebagian besar ikan hidup tanpa banyak berpikir tentang keberadaan mereka. Kenapa mereka ada disini, saat ini, dan bukan ditempat lain. Mereka sibuk mencari makan, menemukan pasangan, dan berkembang biak. Setiap hari mereka berenang, berputar di antara batu-batu karang, sesekali berebut makanan yang jatuh dari atas, lalu kembali menjalani rutinitas yang sama. Inilah hidup yang mereka pahami.
Di sisi lain, ada ikan-ikan yang amat rakus. Mungkin ia adalah jenis ikan yang berasal dari tepian Bengawan Solo. Mereka menguasai wilayah tertentu di akuarium, mengambil lebih banyak makanan, bahkan menyingkirkan banyak ikan yang lebih lemah. Jenis ikan dari tepian Bengawan solo ini tidak peduli dengan aturan perikanan, yang penting adalah menjadi yang paling besar dan paling berkuasa.
Namun, ada juga ikan-ikan yang gelisah dan bertanya. Mereka melihat ke atas, ke luar kaca, mengamati bayangan-bayangan besar yang bergerak, cahaya yang berubah, dan getaran aneh dalam air.
"Apakah ada sesuatu di luar akuarium ini?"
"Siapa yang meletakkan makanan ini setiap hari?"
"Apa yang membuat air di sini tetap jernih?"
Sebagian ikan hanya mengangkat sirip mereka dan tertawa. “Ah, itu sudah ada sejak dulu. Tidak perlu dipikirkan.”
Namun, ikan-ikan yang penasaran tidak bisa berhenti mencari jawaban. Mereka mengamati, mengukur, dan menyusun teori tentang dunia di luar kaca. Mereka membahas bentuknya, ukurannya, dan apa yang mungkin ada di baliknya.
Suatu hari, sesuatu terjadi.
Tangan besar masuk ke akuarium.
Air bergetar, ganggang bergoyang liar, dan bayangan besar mendekat. Ikan-ikan yang rakus bersembunyi, ikan-ikan pragmatis diam dalam ketakutan, sementara ikan-ikan yang penasaran menatap dengan penuh harap.
Beberapa ikan terangkat keluar. Mereka melayang ke udara, melihat dunia yang lebih besar dari yang pernah mereka bayangkan—bukan hanya air, tetapi juga daratan, pepohonan, dan cahaya yang jauh lebih luas dari akuarium mereka.
Dari dalam kaca, ikan-ikan lain hanya bisa melihat dengan ngeri.
"Mereka pasti sudah musnah!"
"Atau… mungkin mereka justru menemukan sesuatu yang lebih besar?"
Namun, tak lama setelah tangan itu pergi, ikan-ikan yang masih di dalam akuarium mulai menyadari sesuatu.
Tangan itu tidak hanya mengambil beberapa ikan, tetapi juga membersihkan akuarium dari kotoran yang menumpuk. Tangan itu mengganti air yang mulai keruh, memastikan oksigen tetap cukup, dan—seperti yang selalu terjadi—menjatuhkan makanan baru dari atas.
Beberapa ikan mulai merenung......
"Apakah tangan itu adalah ancaman… atau justru yang selama ini menjaga kita?"
"Apakah kita bisa hidup tanpa tangan itu?"
"Mungkin kita selama ini hanya terlalu sibuk dengan diri sendiri, tanpa menyadari ada yang selalu memelihara kita."
Sejak hari itu, beberapa ikan mulai menyampaikan syukur dengan cara mereka sendiri.
Ada yang mengajarkan anak-anak ikan untuk tidak serakah, agar makanan cukup untuk semua.
Ada yang berenang dengan tenang, memahami bahwa hidup ini lebih besar dari yang mereka lihat.
Ada yang tetap mencari jawaban, tapi kini dengan hati yang lebih rendah, menyadari bahwa tidak semua hal harus bisa dijelaskan.
Sebagian ikan tetap tidak peduli. Mereka terus makan, berkelahi, dan lupa bahwa tangan itu akan datang lagi. Dan jenis ikan dari tepian Bengawan Solo itu tetap rakus, tak takut kelak ia akan diambil Tangan Kuat itu dan tercabut dari dunia dimana ia bisa bernafas dengan insangnya, dan berakhir di meja makan Tuan Besar menjadi hidangan di meja lengkap dengan sambal matah dari Jimbaran.
Tapi bagi ikan-ikan yang sadar, mereka kini hidup dengan rasa hormat dan syukur, karena mereka tahu…
di balik kaca akuarium ini, ada sesuatu yang lebih besar dari mereka.
Dan ikan-ikan itu… adalah kita semua.....
Kita yang sibuk dengan rutinitas, mencari makan, bekerja, membangun keluarga, dan berusaha hidup nyaman dalam batas dunia yang kita kenal.
Kita yang serakah, mengambil lebih dari yang seharusnya, menyingkirkan yang lemah, berpikir bahwa hidup hanyalah soal kekuasaan dan kepemilikan.
Kita yang bertanya, mencari makna, mencoba memahami dunia di luar "kaca" pemahaman kita, mengukur, berspekulasi, dan membangun teori tentang sesuatu yang lebih besar dari diri kita sendiri.
Kita yang skeptis, menolak segala kemungkinan di luar yang bisa kita lihat dan buktikan, menganggap semua pertanyaan tak terjawab sebagai omong kosong.
Kita yang bersyukur, menyadari bahwa ada yang memelihara, memberi, dan menjaga keseimbangan, meskipun kita tak pernah melihat tangan-Nya secara langsung.
Dan suatu saat nanti, tangan itu akan datang lagi.
Bagi sebagian, itu adalah ketakutan.
Bagi sebagian lain, itu adalah panggilan untuk sesuatu yang lebih besar.
Tapi bagi mereka yang menyadari, itu adalah penggenapan dari pemeliharaan yang telah ada sejak awal.
Karena di balik dunia yang kita lihat,
Ada sesuatu yang lebih besar dari yang bisa kita pahami.