HARUM KENANGAN DI BAWAH POHON KOPI TUA
Halaman rumah tua kami di kampung Ketanggungan, Yogyakarta, dulu cukup luas dan dipenuhi pepohonan. Di bagian depan rumah, dekat garasi mobil dan pintu masuk berdiri pohon alpukat yang menjulang tinggi, buahnya sering bergelayut lebat di antara dedaunan hijau pekat. Setiap kali musim panen, buahnya dikumpulkan, dan aku paling suka ketika mengolahnya dengan gula, diaduk hingga lembut seperti bubur bayi yang manis dan gurih. Tapi ketika musim ulat, puluhan uler kékét yang besarnya sekelingking orang dewasa dan berwarna hijau muda tampak menggelikan sekaligus berbahaya bila bulunya menempel di kulit dan menyebabkan rasa gatal dan panas.
Sedangkan dipinggir halaman, berjajar pohon waru dengan daun lebatnya, membentuk pagar alami yang memisahkan rumah kami dari lingkungan disekitarnya. Burung-burung kecil, seperti prenjak atau trucukan sering bertengger di rantingnya saat pagi, berkicau riang seolah menyambut matahari yang mulai menembus dedaunan. Udara pagi masih terasa segar, embun masih menempel di rumput, dan aroma tanah basah sehabis subuh menguap dari halaman.
Seperti biasa, di pagi hari, tetangga-tetangga kami mulai beraktivitas. Pak Slamet, sopir becak yang sering mangkal di ujung gang dekat jalan besar, berjalan perlahan melewati rumah sambil menuntun becaknya. Roda becaknya berderit pelan, sesekali ia berhenti mengusap keringat di lehernya dengan handuk kecil yang disampirkan di pundak.
Dari arah berlawanan, tampak Mbah Rono, Mbah Jiwo, dan Mbah Wongso berjalan beriringan, membawa tenggok berisi botol-botol jamu. Ketiga perempuan tua itu adalah bakul jamu yang biasa mangkal di Pasar Sérangan, seberang Pabrik Aniem, istilah pembangkit listrik peninggalan jaman Belanda. Langkah mereka pelan, tapi tangannya cekatan membetulkan gendongan di punggung, sementara botol-botol jamu bergemerincing halus di dalam tenggok.
"Monggo dhen, ngunjuk jamu ben sehat," goda Mbah Wongso kepadaku sambil tertawa kecil.
Aku hanya tersenyum, menatap mereka yang perlahan menghilang di balik pagar pohon waru.
Di tengah semua itu, keberadaan dua pohon kopi tua yang berdiri kokoh di halaman depan rumah selalu menarik perhatianku. Kedua pohon kopi tua itu seperti penjaga sunyi yang telah ada jauh sebelum aku lahir.
MEKARNYA BUNGA KOPI DI PAGI HARI
Dua pohon kopi ini tumbuh berpasangan itu, satu di kiri dan satu di kanan, tampak seperti gerbang alami yang mengarah ke rumah tua kami. Tidak seperti pohon lain yang menjulang tinggi, pohon kopi ini cenderung tumbuh kesamping, dan beberapa akarnya tampak menonjol, muncul dari balik tanah menjalar ke segala arah.
Aku sering bergelantungan di salah satu cabang yang paling kuat, yang juga menjadi tempat mengaitkan kawat jemuran bagi keluarga kami. Dahan-dahan itu menopang kawat jemuran yang ditarik hingga ke dekat bangunan rumah, menjadi saksi pakaian yang berkibar tertiup angin setiap hari.
Namun, ada masa ketika pohon kopi ini tampak seperti hanya batang kayu mati yang meranggas di tengah halaman. Di musim kemarau, daun-daunnya rontok, menyisakan cabang-cabang kering yang tampak tak bernyawa. Hanya ranting-ranting kusam yang bergoyang malas diterpa angin. Namun batang batangnya tetap terlihat kokoh dan berurat, bak otot otot pria tua yang terlatih bekerja keras.
Tapi, saat musim hujan tiba, pohon itu seolah terlahir kembali. Daun-daun hijau mulai bermunculan di setiap cabang, ranting-ranting yang sebelumnya kering kini berubah segar.
Dan yang paling ajaib terjadi di pagi hari—ketika tiba-tiba bunga kopi putih bermekaran serempak di seluruh pohon. Bunga bunga yang pada hari sebelumnya tak terlihat tanda tanda kemekarannya.
Aku membuka pintu rumah dan langsung disambut oleh aroma bunga kopi yang harum, lembut dan manis, bercampur dengan udara pagi yang masih basah oleh embun. Aku berdiri lama di depan rumah, menghirup bau yang memenuhi halaman, merasa seolah-olah berada di kebun yang berbeda dari kemarin.
“Jangan ganggu bunganya ya” suara Mbah Putri terdengar dari serambi. Tangannya sibuk menampi beras di atas tampah, matanya sesekali melirik ke arahku. “Bunga kopi itu bakal jadi buah, ojo diganggu nanti malah batal jadi buah"
Aku mengangguk. Tawon-tawon mulai berdatangan, mengerumuni bunga-bunga yang baru mekar. Aku melihat bagaimana serangga-serangga itu sibuk berpindah dari satu bunga ke bunga lain, tanpa mereka sadari bahwa tugas mereka begitu penting sebagai polinator alami.
Dan benar saja. Beberapa bulan kemudian, buah kopi mulai muncul—tanda bahwa musim panen akan segera tiba.
PANEN KOPI DI HALAMAN RUMAH
Panen kopi di rumah kami bukanlah panen besar seperti di kebun kopi. Hasil dari dua pohon tua ini tidak seberapa, tetapi cukup membuat suasana rumah menjadi lebih hidup.
Aku, adikku Tining, serta sepupu-sepupuku ikut membantu memetik buah kopi yang sudah merah ranum. Kami memetik satu per satu, memastikan tidak ada yang masih hijau terbawa. Buah kopi dikumpulkan dalam besek, wadah dari anyaman bambu yang ringan tapi kuat.
Saat semua sudah terkumpul, kami menjemur biji kopi di atas tambir, nampan lebar yang juga terbuat dari anyaman bambu. Sinar matahari yang terik di halaman membuat biji kopi cepat mengering. Setiap sore, Mbah Putri menyuruh kami mengangkat tambir ke bawah atap teras, agar tidak terkena embun malam yang bisa membuatnya lembab.
Setelah beberapa hari, biji kopi mulai mengeras. Mbah Putri lalu menguliti biji kopi, mengeluarkan inti bijinya untuk kemudian dijemur kembali hingga kering benar.
MENGOLAH KOPI BERSAMA MBAH PUTRI
Saat kopi sudah benar-benar kering, Mbah Putri mulai menyangrainya di wajan tanpa minyak. Aroma harum mulai meresap ke seluruh rumah, menandakan kopi sudah hampir matang.
Aku duduk di dekatnya, memperhatikan bagaimana biji kopi berubah warna dari kecoklatan menjadi hitam. Saat sudah cukup matang, kopi ditiriskan, lalu Mbah Putri mulai menggilingnya dengan alat sederhana.
Aku diberi tugas mengayak kopi yang sudah digiling, menampinya hingga hanya bubuk kopi halus yang tersisa. Biji yang masih kasar dikembalikan ke penggilingan, sementara yang sudah halus dimasukkan ke dalam toples kaca, siap diseduh kapan saja.
Aku penasaran. Aku ingin mencoba rasa kopi ini ketika mbah Putri menyeduh kopi buatannya.
"Mbah, aku nyoba sedikit, ya?" tanyaku.
Mbah Putri tertawa kecil lalu menuangkan kopi hitam ke cangkir kecil tanpa gula. Aku mengambilnya dengan percaya diri, lalu menyeruputnya sedikit.
Brrr… pahitnya luar biasa!
Aku langsung meringis. Lidahku, lidah Jogja, yang terbiasa dengan makanan manis seperti wajik dan gudeg, tidak siap menerima rasa pahit pekat ini.
Mbah Putri tersenyum. "Iku kopi asli. Ora kabeh enak iku kudu manis."
HARUM KENANGAN YANG TAK PERNAH PUDAR
Kini, setelah aku menua dan rajin minum kopi pahit tanpa gula baru paham bahwa kopi yang dulu diolah Mbah Putri adalah kopi Robusta. Kopi dengan kadar kafein tinggi dan rasa yang lebih pahit dibanding Arabika atau jenis lainnya. Dan setiap kali aku mencium aroma kopi yang sedang disangrai, atau tanpa sengaja menciun harum bunga kopi, ingatanku selalu kembali ke halaman rumah tua kami, ke bawah pohon kopi tua yang menjadi saksi kenangan.
Mungkin rumah itu sekarang telah berubah jadi bangunan lain, dan pohon kopi itu pun telah tiada. Ditebang dan kayunya dijadikan arang untuk memanggang sate atau tongseng.
Namun, harum bunga kopi dan sangraian kopi itu tetap hidup dalam ingatanku.