Jejak Langkah di Pinggir Kota Jogja


Langit pagi di Ketanggungan, Yogyakarta, tahun 1970-an, masih bersih dari hiruk-pikuk kendaraan bermotor. Kampung kecil di pinggir kota itu hidup dalam keteraturan sederhana, di mana anak-anak bermain di halaman rumah dan gang-gang sempit yang menjadi bagian dari keseharian mereka. Di antara anak-anak itu, ada seorang bocah bernama Bowo, yang lebih akrab dipanggil "Dhen-gus" oleh orang-orang kampung. Panggilan yang sesungguhnya ia tidak sukaisukai karena menjauhkannya dengan banyak teman sebaya di kampung yang. 

Bowo tumbuh dalam keluarga ningrat. Rumahnya rumah tua peninggalan jaman dulu, yang kata eyangnya dulu jaman belanda sempat menjadi rumah sakit untuk menolong para pejuang. Rumah itu punya banyak ornamen khas arsitektur Jawa. Ibunya, seorang wanita kuat yang membesarkan sepuluh anak seorang diri setelah suaminya wafat, selalu menekankan disiplin dan kehormatan keluarga. Namun, bagi Bowo, itu berarti batasan yang kaku—larangan bermain ke rumah teman, peraturan ketat dalam bersikap, dan kehati-hatian dalam bergaul.

Meskipun lingkungan rumahnya bukan area persawahan, sejak kecil Bowo sangat menyukai perjalanan ke sawah. Setelah memasuki kelas 5 SD, ia memiliki sepeda sendiri, yang sering ia gunakan untuk menjelajahi sawah-sawah di pinggiran kampung. Kadang ia pergi sendiri, kadang bersama teman-temannya. Mengayuh sepeda di jalanan kampung menjadi hiburan tersendiri baginya, sebuah kebebasan kecil yang bisa ia nikmati.

Saat memasuki SMP, sekolahnya jauh dari rumah, sehingga ia harus menggunakan satu-satunya angkutan umum pada masa itu, yaitu kol kampus. Setelah turun dari angkutan, ia masih harus berjalan kaki cukup jauh untuk sampai ke sekolah. Entah bagaimana, sejak SMP, ia tidak lagi menggunakan sepeda. Mungkin sepeda itu dijual, atau hilang, ia sendiri sudah lupa. Sejak saat itu, hingga lulus SMA, ia selalu mengandalkan angkutan umum.

Saat duduk di kelas 1 SMA, Bowo bersekolah pada siang hari dan baru pulang sore. Padahal, angkutan umum semakin jarang saat sore hari. Tak jarang, ia harus menunggu lama di pojok simpang jalan, sambil melihat teman-temannya pulang dengan sepeda motor, berboncengan bersama teman mereka. Pada musim hujan, situasi ini semakin sulit. Hujan deras yang turun membuat perjalanan pulang menjadi lebih berat, tetapi ia tak punya pilihan lain selain menunggu angkutan yang mungkin baru lewat setelah sekian lama.

Kemudian datanglah masa kuliah. Ia diterima di sebuah perguruan tinggi ternama di Yogyakarta, sebuah pencapaian besar dalam keluarganya. Tapi perjuangan belum selesai. Tanpa kendaraan, tanpa sokongan finansial yang besar, ia harus berjuang lebih keras. Banyak waktu ia habiskan sendirian, tidak seperti mahasiswa lain yang bebas berkumpul dan menjelajah kota dengan motor mereka. Namun, ia tahu, satu-satunya jalan keluar adalah bertahan dan membangun masa depan dari nol.

Hingga akhirnya, titik balik itu datang. Setelah menyelesaikan studinya, ia mendapatkan pekerjaan yang stabil di sebuah institusi negara, mendapatkan penghasilan sendiri, dan untuk pertama kalinya, membeli sepeda motor dengan hasil kerja kerasnya. Itu bukan sekadar kendaraan, tetapi simbol kebebasan. Bebas dari keterbatasan, bebas dari ketidakberdayaan, dan yang terpenting, bebas menentukan arah hidupnya sendiri.

Bowo tetaplah Bowo yang sama—tertib, disiplin, dan penuh perhitungan dalam bertindak. Ia tidak menjadi brutal hanya karena memiliki kebebasan lebih. Justru, ia semakin sadar bahwa kehidupan adalah tentang bagaimana seseorang mengendalikan dirinya sendiri, bukan tentang bagaimana dunia memperlakukannya.

Kini, ketika melihat ke belakang, Bowo tidak menyesali apa pun. Setiap larangan, setiap keterbatasan, setiap kesendirian—semua itu membentuknya menjadi pribadi apa adanya hingga saat ini. Petualangan masa kecilnya, meskipun penuh batasan, tetap menjadi bagian dari perjalanan panjangnya menuju kemandirian. Ia adalah bukti bahwa setiap orang, tidak peduli dari mana mereka berasal, selalu bisa menulis takdirnya sendiri.

Popular posts from this blog

Manggala Dari Paitunan

Misteri Drumband yang Hilang di Angin Pagi

Saat Malam Tak Perlu Dijelaskan