Kalkulasi Imajiner Amarah Kolektif: Membaca Dinamika dan Residu Kemarahan Sosial

Pemegang kekuasaan sering kali menggunakan berbagai cara untuk menekan ekspresi kemarahan. Mulai dari pengalihan isu, hiburan massal, pemberian bantuan sosial, hingga penindakan represif terhadap mereka yang berani bersuara. 

Tidak ada ledakan sosial yang muncul tiba-tiba. Ia bukan sekadar gelombang emosional yang terjadi dalam semalam, tetapi akumulasi panjang dari ketidakpuasan yang tersimpan di banyak benak. Sebuah peristiwa besar yang mengguncang masyarakat hanyalah pemantik; lahan suburnya telah lama dipersiapkan oleh pengalaman ketidakadilan yang berulang.

Di warung kopi, di gang-gang kecil, di lini-lini media sosial, dan di obrolan rumah tangga, percikan amarah tersebar. Awalnya hanya keluhan, kemudian berkembang menjadi ketidakpuasan yang terus menguat. Ada rasa jengah yang meresap, bukan hanya karena masalah ekonomi, tetapi juga karena ketidakadilan yang dianggap semakin nyata. Orang-orang mulai merasa bahwa suara mereka tidak lagi didengar, bahwa keputusan-keputusan besar dibuat tanpa mempertimbangkan kepentingan mereka.

Masyarakat melihat bagaimana kasus-kasus korupsi lenyap tanpa konsekuensi, bagaimana hukum tajam ke bawah tapi tumpul ke atas, bagaimana kebijakan dibuat bukan untuk rakyat, melainkan untuk segelintir elite yang terus memperkaya diri. Kekecewaan ini tidak selalu ditunjukkan dalam bentuk protes atau tindakan agresif; lebih sering ia muncul dalam bentuk sikap sinis, hilangnya kepercayaan terhadap institusi, dan semakin kuatnya perasaan bahwa mereka hanya menjadi penonton dalam permainan politik yang tidak berpihak pada mereka.

Kemarahan ini bukan sekadar isu abstrak. Ia nyata dalam bentuk gerakan dan ekspresi publik yang muncul dalam berbagai bentuk. Demonstrasi mahasiswa "Indonesia Gelap" pada 17 Februari 2025 di 12 kota besar, termasuk Jakarta, Yogyakarta, dan Medan, menjadi bukti nyata bagaimana ketidakpuasan ini menemukan wadahnya. Ribuan mahasiswa turun ke jalan, menyuarakan protes terhadap pemotongan anggaran dan kebijakan yang dinilai tidak berpihak kepada mereka. Tagar #IndonesiaGelap pun menjadi viral di media sosial, memperlihatkan bagaimana kemarahan ini bukan hanya ada di ruang fisik, tetapi juga dalam percakapan digital. Bahkan dalam ranah seni, ekspresi kemarahan juga muncul, seperti dalam kontroversi lagu "Bayar Bayar Bayar" oleh Band Punk Sukatani, yang mengkritik korupsi di tubuh kepolisian. Lagu ini sempat viral, tetapi kemudian ditekan oleh aparat hingga band tersebut dipaksa meminta maaf. Sementara yang terakhir ini fenomena pengoplosan BBM jenis pertamax dari pertalite yang dilakukan oleh pejabat publik BUMN Pertamina semakin memberi pukulan yang amat menyakitkan bagi rakyat. Semua ini menunjukkan bagaimana ketidakpuasan dan kemarahan tidak hanya diam, tetapi perlahan menemukan jalannya.

Dalam konteks budaya kolektif seperti Indonesia, teori Matsumoto (2004) tentang pengelolaan emosi dalam budaya kolektif menjelaskan mengapa kemarahan ini tidak selalu diekspresikan secara terbuka. Budaya yang menekankan harmoni sosial sering kali membuat individu menekan ekspresi kemarahan, menghindari konflik terbuka demi menjaga stabilitas kelompok. Namun, sebagaimana yang telah berulang kali terjadi dalam sejarah, kemarahan yang ditekan bukan berarti hilang. Ia mengendap sebagai residu yang bisa meledak ketika kondisi sudah tidak lagi bisa ditoleransi. Pada titik inilah kemarahan mulai terkristalisasi. Namun, tanpa pemicu yang tepat, ia hanya menjadi perasaan yang mengendap dalam diam.

Faktor Pemicu: Apa yang Memantik Kemarahan?

Seberapa dalam masyarakat dapat menahan ketidakadilan? Seberapa besar mereka mampu bertahan sebelum akhirnya suara-suara yang tersimpan mulai meledak?

Pemicu kemarahan ini bisa datang dari berbagai arah. Bisa dari peristiwa besar yang menyentak kesadaran publik, seperti kasus hukum yang mencerminkan ketimpangan yang nyata, kebijakan yang mengabaikan kepentingan masyarakat kecil, atau peristiwa represif yang memperlihatkan wajah kekuasaan yang sewenang-wenang. Namun, terkadang pemicunya lebih kecil. Sebuah pernyataan pejabat yang sembrono, kenaikan harga bahan pokok yang tampak sepele, atau perlakuan yang tidak adil terhadap seseorang di depan publik bisa memicu efek domino. Ketika amarah ini menemukan ruang untuk disalurkan, maka ia tak lagi bisa diremehkan.

Selain dari berbagai paparna fakta prlnatik kemarahan publik seperti disampaikan diawal, masih banyak lagi peristiwa dan berbagai kebijakan kontroversial yang menunjukkan bahwa kebijakan ekonomi, mismanagement, dan tindakan represif terhadap kebebasan berekspresi dapat menjadi pemicu signifikan bagi kemarahan kolektif di masyarakat.

Dinamika Kemarahan: Antara Api dan Penghalang

Kemarahan yang terorganisir dapat menjadi kekuatan perubahan, tetapi sering kali ada mekanisme yang mencoba meredamnya sebelum mencapai titik kritis.

Di satu sisi, ada faktor-faktor yang mendorong amarah agar tetap menyala. Media sosial menjadi ruang amplifikasi, mempercepat penyebaran narasi ketidakadilan. Figur pemersatu bisa memperkuat keberanian untuk bertindak, mengubah kemarahan yang tercerai-berai menjadi gerakan yang lebih terarah. Momentum politik juga menjadi faktor penting; dalam situasi krisis atau ketidakstabilan, masyarakat lebih cenderung merespons dengan tindakan nyata.

Di sisi lain, ada pula upaya meredam. Pemerintah dan pemegang kekuasaan sering kali menggunakan berbagai cara untuk menekan ekspresi kemarahan. Mulai dari pengalihan isu, hiburan massal, pemberian bantuan sosial, hingga penindakan represif terhadap mereka yang berani bersuara. Efeknya? Sebagian kemarahan mungkin mereda, tetapi sisanya tetap mengendap.

Residu Kemarahan: Akumulasi yang Tak Hilang

Setiap kali kemarahan sosial diredam, bukan berarti ia hilang begitu saja. Apa yang tersisa disebut sebagai residu kemarahan—kemarahan yang tak bisa langsung tersalurkan, tetapi menumpuk, terakumulasi, menunggu waktu dan pemicu berikutnya.

Dalam membaca dinamika amarah kolektif, kita bisa mengajukan pendekatan kalkulatif--imajinatif (oleh karena yang hendak diukur lebih bersifat intangible, relatif abstrak) untuk mencoba memahami bagaimana kemarahan berkembang dan terakumulasi. (Kemarahan Kolektif) = (Intensitas Pemicunya) + (Faktor Pendorong) - (Faktor Penghambat) + (Residu yang Terakumulasi dari Masa Lalu). Pendekatan ini bukan sebuah perhitungan matematis, tetapi sebuah kerangka berpikir untuk melihat bagaimana setiap unsur berkontribusi dalam membentuk kemarahan sosial yang berkembang dari waktu ke waktu.

Intensitas pemicu berperan sebagai titik awal. Pemicu bisa berupa peristiwa besar yang menyentak kesadaran publik atau kebijakan yang dianggap merugikan banyak orang. Jika pemicu memiliki dampak besar terhadap masyarakat luas, maka ia akan mempercepat munculnya gelombang kemarahan. Namun, pemicu saja tidak cukup untuk menciptakan ledakan sosial jika tidak ada faktor pendorong yang mengikutinya. Faktor pendorong seperti media sosial, tokoh pemersatu, dan momentum politik bisa memperkuat amarah kolektif. Ketika sebuah isu dengan cepat menyebar di media sosial dan mendapatkan dukungan luas, kemarahan yang awalnya tersebar bisa terorganisir dan membentuk gerakan yang lebih solid.

Di sisi lain, ada faktor penghambat yang dapat meredam kemarahan sebelum mencapai titik kritis. Penguasa sering menggunakan berbagai strategi untuk meredakan ketegangan, mulai dari pemberian bantuan sosial hingga mengalihkan perhatian publik dengan isu lain. Hiburan massal, olahraga, atau konser musik sering kali digunakan untuk menenangkan suasana. Namun, meredakan kemarahan tidak berarti menghapusnya. Residu kemarahan tetap ada, bertahan dalam benak masyarakat, dan terus menumpuk jika tidak ada penyelesaian nyata. Residu ini merupakan akumulasi dari pengalaman ketidakadilan yang dirasakan sebelumnya dan akan menjadi bagian dari ingatan kolektif suatu bangsa.

Ketika residu terus bertambah dan tidak tersalurkan, maka yang terjadi bukan sekadar kemarahan yang dapat diredam, melainkan sebuah ledakan yang tidak dapat dikendalikan. Seperti balon yang terus ditiup, jika tekanan di dalamnya terus bertambah tanpa adanya pengurangan yang signifikan, maka hanya butuh sedikit tambahan tekanan lagi untuk membuatnya pecah. Inilah yang sering terjadi dalam peristiwa besar di berbagai negara, termasuk dalam sejarah Indonesia. Reformasi 1998, misalnya, bukan hanya lahir dari ketidakpuasan terhadap satu kebijakan saja, tetapi dari akumulasi ketidakadilan yang berlangsung selama 32 tahun.

Dari sini, kita dapat memahami bahwa amarah kolektif bukanlah sesuatu yang tiba-tiba ada. Ia berkembang perlahan, menunggu momentum yang tepat untuk meledak. Jika kondisi yang melahirkan ketidakpuasan tidak diperbaiki, maka pertanyaannya bukan lagi apakah ledakan itu akan terjadi, melainkan kapan. Oleh karena itu, memahami bagaimana residu kemarahan terakumulasi dan bagaimana faktor-faktor pendorong serta penghambat bekerja, menjadi kunci dalam membaca dinamika sosial yang sedang berkembang.

Lalu Sampai Kapan?

Tak ada yang bisa memprediksi dengan pasti kapan akumulasi ini mencapai puncaknya. Namun, ada pola yang bisa dibaca. Ketika semakin banyak individu menyadari ketidakadilan, ketika faktor pendorong semakin kuat, dan ketika upaya penghambatan tak lagi efektif, maka kemungkinan besar kita mendekati titik kritis.

Apakah semua ini bisa dicegah? Bisa, jika akar permasalahan yang melahirkan ketidakadilan benar-benar diselesaikan. Namun, jika yang dilakukan hanya sekadar menunda atau mengalihkan, maka pertanyaannya bukan lagi "apakah akan meledak?" tetapi "kapan?"

Popular posts from this blog

Manggala Dari Paitunan

Misteri Drumband yang Hilang di Angin Pagi

Saat Malam Tak Perlu Dijelaskan