Kesunyian Natal yang Tak Terlupakan

Yogyakarta, Tahun 1979
Malam itu tanggal 24  Desember 1979, langit Yogyakarta masih diguyur gerimis tipis sejak sore. Suasana begitu sunyi. Tak ada suara anak-anak bermain petasan, tak ada kendaraan yang melintas di jalan depan rumah. Biasanya, setiap Natal atau Idul Fitri, beberapa kakak dan saudara yang tinggal diluar kota pulang ke rumah di Yogyakarta, membawa suasana yang lebih ramai. Namun, Natal kali ini berbeda. Tak ada satupun kerabat yang pulang. Hanya ada ibu, adek, dan aku. Sepi.

Aku ingin sekali merasakan Natal yang lebih bermakna. Mengikuti misa tengah malam di Gereja Katolik Pugeran adalah keinginan yang sudah kupendam sejak siang. Namun, siapa yang akan menemaniku? Ibu sudah berencana pergi misa tanggal 25 Desember siang hari. Ibu juga sempat mengajakku untuk mengikuti misa bersama, tapi kali ini aku ingin mendapatkan suasana yang berbeda, mengikuti misa tengah malam. Kali itu, aku sempat berharap bisa berangkat bersama Prawoto, tetangga yang juga Katolik. Kami sempat berjanji untuk pergi bersama. Namun, hujan yang terus turun sejak sore membuatnya membatalkan rencana.

Aku semakin galau. Maju atau mundur? Jika batal, Natal ini akan berlalu begitu saja, hambar, tanpa kesan. Tetapi jika berangkat, aku harus pergi sendirian dalam gelap dan gerimis. Sore menjelang malam itu kebimbangan menyita waktuku. Banyak pertimbangan yang berputar di kepalaku hingga akhirnya, sekitar pukul 22.00, hujan mulai reda. Tekadku bulat. Supaya tidak kehilangan momen perayaan Natal aku harus tetap berangkat, meski untuk itu aku harus berjalan sendiri ditengah malam yang bergerimis. 

Tak ada kendaraan, tak ada becak, hanya aku dan jalanan basah yang harus kutempuh sejauh 2,1 km dengan berjalan kaki. Dengan membawa payung, aku melangkah keluar rumah. Gang kecil di kampungku begitu sepi, seolah semua orang sudah tenggelam dalam tidur. Lampu-lampu di rumah penduduk menyala redup, beberapa hanya menggunakan bohlam kecil ukuran 10 Watt. Aku menapaki jalan pelan-pelan, menyusuri gang yang sesekali tergenang air, membuat tanah menjadi becek.

Saat mulai masuk ke jalan kecil di sela-sela rumah penduduk di Ketanggungan wetan, rasa sepi semakin terasa. Tak ada seorang pun di luar rumah. Hanya aku, suara langkah kakiku di atas tanah basah, dan hembusan angin dingin yang membuat tubuh semakin menggigil. Suara rintik hujan masih terdengar, jatuh pelan ke atap rumah-rumah dan dedaunan. Aku terus melangkah, melewati deretan rumah yang lampunya sudah mulai dipadamkan. Suasana makin sunyi, makin dalam.

Kemudian, aku tiba di jalan yang membelah kebun pisang. Kanan kiriku hanya ada pohon-pohon pisang yang berjejer rapat, dengan beberapa pohon perdu tumbuh di antaranya. Daun-daun pisang yang basah bergoyang perlahan diterpa angin. Aku merapatkan tanganku ketubuh untuk menghalau dingin malam sambil menggenggam payung lebih erat. Malam gelap, gerimis kecil masih turun, dan hanya ada suara kodok yang berpesta di genangan air. Aku melangkah semakin cepat. Ada perasaan aneh yang sulit dijelaskan. Aku tidak takut, tapi ada rasa sendu yang begitu kuat, seolah aku benar-benar sendirian di dunia ini.

Setelah melewati kebun pisang, aku kembali masuk ke gang kecil yang lebih dekat dengan jalan besar. Lampu-lampu jalan mulai terlihat di kejauhan. Hatiku sedikit lega. Aku mulai melihat satu dua rumah yang masih menyisakan terang dari lampunya. Hingga akhirnya, setelah berjalan sekitar kurang lebih tigaperempat jam, aku tiba di Gereja Katolik Pugeran. Waktu menunjukkan 23.45.

Meskipun hati masih terasa kosong karena sejak sore dipenuhi kegalauan, melihat gereja yang penuh sesak dengan jemaat, mendengar suara lagu Natal menggema, membuatku merasa tidak sendiri lagi. Aku masih kebagian tempat duduk di dalam gereja. Dari seorang diri dalam perjalanan gelap, kini aku berada di antara ratusan orang yang sama-sama merayakan malam yang suci ini.

Saat misa berakhir sekitar pukul 01.15, aku keluar dari gedung gereja. Udara semakin dingin, tetapi gerimis sudah berhenti. Orang-orang mulai pulang ke rumah masing-masing. Aku kembali harus berjalan sendiri. Perjalanan pulang terasa berbeda. Jika saat berangkat aku diselimuti rasa sepi yang berat, kini hatiku terasa lebih ringan. Aku tidak lagi merasa benar-benar sendiri. Aku telah mengalami Natal yang tetap bermakna, meski dalam keadaan yang sepi.

Aku melangkah lebih santai, melewati jalan yang sama, hanya kali ini tanpa gerimis dan dengan suasana hati yang lebih tenang. Hingga akhirnya, sekitar pukul 02.15, aku tiba di rumah. Aku langsung masuk ke kamar dan tidur. Esok harinya, suasana Natal tetap terasa sepi di rumah. Tapi perjalanan malam itu tetap membekas dalam ingatanku hingga kini.

Natal tahun itu mungkin bukan yang paling meriah, tapi itu adalah Natal yang akan selalu kuingat. Natal yang penuh dengan keheningan, kesendirian, tetapi juga keteguhan hati dan makna yang lebih dalam.

Popular posts from this blog

Manggala Dari Paitunan

Misteri Drumband yang Hilang di Angin Pagi

Saat Malam Tak Perlu Dijelaskan