Manggala Dari Paitunan-6

Bayangan Pemberontakan

Setelah dituduh sebagai bagian dari pengkhianatan, Naren dan Wiro tetap berada di istana dengan langkah serba hati-hati. Mereka tidak bisa langsung melarikan diri sebab setiap gerakan akan dicurigai. Mereka harus menunggu kesempatan yang tepat.

Ketika keduanya masih menimbang langkah selanjutnya, seorang punggawa kerajaan dengan pakaian kebesaran melangkah masuk ke ruangan dengan penuh hormat. Ia memberi salam kepada **Ndoro Putri Ajeng**, lalu menatap Naren dan Wiro dengan mata penuh tanda tanya sebelum duduk bersila dengan sopan.

“Hamba mohon izin, Ndoro Putri,” ujarnya dengan suara berwibawa. “Ada perintah dari dalam istana bahwa kedua pemuda ini adalah bagian dari kelompok pengkhianat kerajaan. Hamba diperintahkan untuk menyerahkan mereka kepada pengawal utama.”

Mata Ndoro Putri Ajeng menyipit. Ia menatap punggawa itu dengan tenang, tetapi sorot matanya tajam penuh makna.

“Kedua pemuda ini adalah tamuku. Urusan mereka berada dalam tanggung jawabku,” ucapnya dengan nada yang tegas. 

Punggawa itu tampak ragu sejenak. “Ndoro Putri, ini adalah titah”

“Sampaikan kepada mereka bahwa aku yang akan menangani urusan ini,” potong Ndoro Putri Ajeng. “Dan kau tidak perlu kembali membawa mereka.”

Punggawa itu tampak tidak puas, tetapi ia tidak berani membantah. Ia pun bangkit, menghaturkan sembah, lalu melangkah pergi dengan tatapan mengancam. “Hamba akan melaporkan hal ini” ujarnya sebelum keluar dari ruangan.

Setelah pintu tertutup, Ndoro Putri Ajeng menghela napas panjang. “Kita harus bergerak cepat sebelum mereka datang lagi dengan pasukan yang lebih banyak.”

Pelarian dari Istana

Udara sore di Kota Raja terasa berat. Cahaya obor di sudut-sudut tembok istana mulai menyala, menebarkan bayangan yang bergerak di antara pilar-pilar besar. Dengan penuh kehati-hatian, Ndoro Putri Ajeng mengatur siasat agar Naren dan Wiro tetap aman di lingkungan istana hingga saat yang tepat untuk melarikan diri tiba.

Ia menyembunyikan mereka di salah satu ruangan kosong di sayap barat istana, yang jarang dimasuki orang. Di sana, mereka menunggu hingga malam benar-benar jatuh.

Saat waktu yang direncanakan tiba, seorang pelayan istana yang telah lama mengabdi pada keluarga Ndoro Putri Ajeng muncul dari balik tirai.

“Ndoro Putri, jalur itu masih bisa digunakan. Mereka harus keluar sebelum pergantian jaga berikutnya.”

Ndoro Putri Ajeng mengangguk. “Kalian akan melewati lorong bawah tanah di belakang taman, lalu keluar melalui celah sempit di sisi barat benteng.”

Naren menunduk hormat. “Kasinggihan, sendiko dawuh Ndoro Putri.”

Wiro menarik napas dalam. “Kami berhutang budi padamu, Ndoro.”

Ndoro Putri Ajeng tersenyum samar. “Pastikan kalian tidak tertangkap. Aku tidak akan bisa menyelamatkan kalian dua kali.”

Menuju Tempat Perlindungan di Alas Tirta Manik

Saat malam mulai menyelimuti Kota Raja, mereka menyusuri lorong bawah tanah yang lembab. Cahaya obor kecil yang mereka bawa hanya cukup untuk menerangi beberapa langkah di depan. Udara di dalam lorong itu pengap, membawa aroma tanah basah dan batu tua.

Setelah berjalan cukup jauh, mereka akhirnya keluar di sisi barat benteng, di balik semak-semak lebat. Tanpa membuang waktu, mereka segera bergerak menuju Alas Tirta Manik, tempat pasukan Bhayangkara yang masih setia berkumpul.

Namun, perjalanan mereka tidak mudah. Saat melintasi hutan di luar Kota Raja, mereka menemukan jejak kaki yang menunjukkan bahwa pasukan pengkhianat telah bergerak lebih dahulu. Naren meneliti jejak-jejak itu dengan saksama. “Mereka tahu kita akan ke sini.”

“Itu berarti kita harus lebih cepat,” sahut Wiro.

Pertemuan Kembali dengan Kyai Lembu Jagratara

Di perkemahan tersembunyi di dalam Alas Tirta Manik, mereka akhirnya kembali bertemu dengan Kyai Lembu Jagratara, yang telah lebih dahulu tiba dengan selamat setelah dikawal oleh tangan kanan Sang Mahapatih.

“Kalian membawa kabar baik atau kabar buruk?” tanya Kyai dengan nada tegas.

Naren menatapnya dan berkata, “Kami berhasil melarikan diri dengan bantuan Ndoro Putri Ajeng. Tapi kami belum tahu perkembangan terakhir di istana.”

Kyai Lembu menghela napas panjang. “Aku telah bertemu tangan kanan Sang Mahapatih. Keadaan lebih gawat dari yang kita duga. Pemberontakan ini telah lama direncanakan oleh salah satu keluarga raja yang merasa berhak atas tahta.”

Wiro mengepalkan tangannya. “Jadi mereka memilih waktu yang tepat, saat Sang Mahapatih sedang sibuk dengan ekspedisi besar.”

“Benar,” jawab Kyai. “Dan sekarang mereka telah menguasai sebagian istana dalam bayang-bayang. Jika kita tidak bertindak segera, kerajaan bisa jatuh ke tangan mereka.”

Setelah menyusun strategi, mereka memutuskan untuk kembali ke Kota Raja. Naren dan Wiro menyamar sebagai pedagang, sementara pasukan Bhayangkara yang tersisa masuk dengan cara mereka sendiri.

Di dalam kota, mereka melihat tanda-tanda pemberontakan semakin nyata. Beberapa prajurit setia kerajaan mulai menghilang, dan kabar bohong menyebar untuk melemahkan kepercayaan rakyat kepada Sang Mahapatih.

Di sebuah kedai kecil di sudut kota, mereka bertemu dengan seorang pejabat kerajaan yang masih setia. Namun, saat mereka mulai berbicara dengna berbisik bisik disudut ruangan, suasana mendadak berubah. Seorang pria bertubuh besar yang duduk di sudut kedai berdiri perlahan, matanya menatap mereka dengan curiga. Naren merasakan bahaya sebelum kata-kata keluar dari mulut pria itu.

Pertarungan di Kedai

Tiba-tiba, suara perintah terdengar dari luar kedai. “Tangkap mereka! Mereka adalah pengkhianat!”

Naren dan Wiro tersentak. Mereka telah dijebak!

Tanpa berpikir panjang, Wiro langsung menyerang pria bertubuh besar yang mencoba menangkap mereka. Pertarungan pun pecah.

Naren berkelit dari tebasan lawan dan membalas dengan pukulan cepat yang membuat salah satu musuhnya terjatuh. Sementara itu, Wiro bertarung dengan sengit melawan dua prajurit sekaligus.

Namun, sebelum keadaan semakin terdesak, beberapa prajurit Bhayangkara yang masih setia kepada Raja tiba-tiba muncul dari balik kedai, menyerbu musuh dengan senjata terhunus. Perkelahian menjadi semakin sengit, dengan sabetan pedang dan tombak merobek udara. Beberapa lawan mereka terkapar terkena sabetan tajam.

Setelah pertarungan yang melelahkan, Naren, Wiro, dan para Bhayangkara yang setia berhasil menumpas sebagian musuh, sementara yang lainnya melarikan diri dalam kegelapan. Tanpa membuang waktu, mereka segera bergerak lebih jauh, namun tetap dengan sangat hati-hati, menuju titik aman berikutnya.

Bersambung...

Popular posts from this blog

Manggala Dari Paitunan

Misteri Drumband yang Hilang di Angin Pagi

Saat Malam Tak Perlu Dijelaskan