Manggala Dari Paitunan-7
Bab 7: Kemenangan Bhayangkara
Langit masih pekat ketika prajurit Bhayangkara yang setia menyusup ke dalam istana. Mereka bergerak cepat, menghindari penjagaan musuh yang semakin ketat. Di dalam kediaman Sang Prabu, suasana mencekam. Beberapa pengawal yang masih setia telah bersiaga, tetapi jumlah mereka terlalu sedikit dibandingkan ancaman yang mengintai.
"Kita harus membawa Sang Prabu ke tempat yang lebih aman sebelum mereka menyerbu ke sini," bisik salah seorang perwira Bhayangkara.
Dengan penuh kehati-hatian, mereka mengawal Sang Prabu melewati lorong-lorong tersembunyi. Di luar, pertarungan sudah mulai pecah di berbagai sudut istana. Di tengah kekacauan itu, Naren, Wiro, dan pasukan Bhayangkara lainnya bertempur untuk mengulur waktu, memastikan Sang Prabu bisa keluar dengan selamat.
Pertempuran Besar di Dalam Istana
Balai Pamedan berubah menjadi arena pertempuran yang dahsyat. Pasukan pemberontak yang telah menyusup semakin banyak, namun pasukan Bhayangkara yang setia tidak tinggal diam. Mereka bertarung dengan gigih mempertahankan istana.
Wiro melawan seorang panglima pemberontak dalam duel yang mematikan. Pedang beradu dengan kilatan tajam, dan setiap gerakan adalah pertaruhan hidup dan mati. Sementara itu, Naren menghadapi pendekar tangguh dari pihak pemberontak, seorang pria bertubuh besar dengan ilmu kanuragan yang tak bisa diremehkan.
Ndoro Putri Ajeng, yang sejak awal mengikuti perkembangan peristiwa, muncul di saat yang tepat. Ia memberi isyarat kepada Naren dan Wiro tentang jalur strategis untuk memukul mundur pemberontak. Dengan bantuan informasi ini, pasukan Bhayangkara berhasil merangsek maju, mendesak musuh ke posisi yang lebih sulit.
Kejatuhan Pemimpin Pemberontak
Di tengah pertempuran, sang pemimpin pemberontak akhirnya menampakkan dirinya, berdiri di atas tangga Balai Pamedan dengan tatapan penuh kebencian. "Hari ini, Majapahit akan menjadi milikku!" serunya lantang.
Naren maju ke depan. "Majapahit tidak akan jatuh ke tangan seorang pengkhianat!"
Duel mereka pun dimulai. Naren menghadapi pemimpin pemberontak dalam pertarungan hidup dan mati. Jurus demi jurus dikeluarkan, masing-masing mencoba mencari celah untuk menjatuhkan lawan. Sementara itu, pasukan Bhayangkara semakin menguasai keadaan, perlahan memukul mundur pasukan pemberontak.
Akhirnya, dengan satu serangan cepat, Naren berhasil melukai pemimpin pemberontak, membuatnya jatuh bersimpuh di tanah. Pasukannya yang tersisa segera tercerai-berai, menyadari bahwa rencana mereka telah gagal.
Saat fajar menyingsing, pasukan utama kerajaan yang dipimpin oleh Sang Mahapatih akhirnya tiba di istana, mengukuhkan kemenangan Bhayangkara atas pemberontakan ini.
Epilog: Penghargaan dan Pengakuan
Beberapa hari setelah kemenangan, sebuah upacara besar diadakan di istana. Sang Prabu hadir dengan kewibawaannya yang tak tergoyahkan.
Di depan seluruh hadirin, Sang Mahapatih menerima penghargaan pertama dari Sang Prabu, sebagai tanda keberhasilannya menjaga kesetiaan dan kestabilan kerajaan. Setelah itu, satu per satu prajurit yang berjasa dipanggil ke depan.
Naren dan Wiro maju, mengenakan pakaian kebesaran Bhayangkara. Mata mereka menatap lurus ke depan, sementara detak jantung mereka berdegup kencang.
Sang Prabu menatap keduanya dengan penuh kebanggaan. "Kalian telah menunjukkan keberanian dan kesetiaan yang luar biasa. Atas nama Majapahit, aku menganugerahkan Samir Bhayangkara kepada kalian."
Seorang abdi dalem membawa dua Samir Bhayangkara, kalung kehormatan yang melambangkan status sebagai prajurit Bhayangkara sejati. Naren menerima penghargaan itu dengan penuh haru, sementara di barisan belakang, orang tua Naren menatap dengan mata berkaca-kaca, merasa bangga melihat anak mereka mencapai kehormatan tertinggi.
Dari kejauhan, Ndoro Putri Ajeng tersenyum, menyadari bahwa peran kecilnya dalam membantu Naren dan Wiro telah membawa perubahan besar bagi kerajaan.
Majapahit telah kembali tenang, tetapi Naren tahu bahwa ancaman tidak pernah benar-benar hilang. Namun, hari ini adalah hari kemenangan. Hari ketika seorang anak muda dari Paitunan diakui sebagai Bhayangkara sejati.
Tamat.