Saksi Bisu di Halaman Rumah Tua

Di halaman rumah tua kami di Yogyakarta, berdiri sebuah pohon nangka besar di sebelah dapur. Batangnya kokoh, dahannya lebar, dan daunnya rimbun, menciptakan keteduhan yang menyejukkan bahkan di siang hari yang terik. Di bawah pohon inilah banyak kisah masa kecilku dan saudara-saudaraku terukir.

Sejak aku masih kecil, sekitar enam tahun, mbak Toet, mbak Nuk, dan Paijem, anak Mbok Parto, pembantu keluarga kami sering menggelar tikar di bawahnya. Pohon nangka ini bukan hanya sekadar peneduh, tapi juga tempat berkumpul, tempat melepas lelah, dan tempat berbagi cerita. Di sana, Paijem dengan tekun menyisir rambut mbak Toet dengan suri, sisir lembut yang terbuat dari tanduk kerbau, mencari kutu yang saat itu masih lazim bagi pemilik rambut panjang. Sambil tiduran di tikar, suara radio transistor dua band AM dan MW mengalun lembut, memutar lagu-lagu lawas atau lawakan khas Basiyo yang selalu berhasil membuat kami tertawa.

Namun, ada satu kejadian yang selalu kami waspadai saat duduk santai di bawah pohon ini: jatuhnya babal hitam, bibit buah nangka yang gagal tumbuh menjadi buah dewasa. Sejak awal, bibit buah nangka ini sudah kalah dalam persaingan mendapatkan makanan dari induk pohonnya, karena tidak semua bakal buah nangka bisa bertahan hingga matang. Karena pohon memiliki mekanisme dominansi apikal, semacam seleksi alamiah yang memastikan hanya buah yang paling kuat yang mendapat pasokan nutrisi. Yang kalah? Dibiarkan membusuk di dahan dan jadi Babal. 

Dalam proses pembusukan Babal ini, jamur Rhizopus artocarpi mulai tumbuh, melapisi kulit babal dengan warna hitam pekat. Babal ini tetap menggantung pada pohon untuk waktu yang tidak tentu, seakan menunggu nasibnya berakhir. Dan tanpa peringatan, ketika tangkainya tak lagi kuat menahan, ia akan jatuh begitu saja—menimpa siapa pun yang ada di bawahnya, termasuk kami yang sedang asik bersantai dibawahnya. 

Aku masih ingat bagaimana tawa meledak ketika seseorang menjadi "korban" babal ireng. Jika yang terkena kebetulan berbaju putih, noda hitam dari jamur akan melekat jelas di kainnya, sulit dihapus. Yang kejatuhan pasti merutuk kesal, sementara yang lain tertawa puas. "Kenaa! Hahaha!" Aku sendiri tak terhitung berapa kali kejatuhan babal, tapi seperti kebiasaan anak-anak, kesialan kecil seperti ini justru menjadi bagian dari keceriaan.

Tahun-tahun berlalu, keberanianku dalam menjelajahi pohon ini semakin besar. Di usia delapan tahun, aku mulai memanjat lebih tinggi. Ada beberapa dahan yang lebar dan bersimpangan, miring sekitar lima puluh derajat, yang menjadi tempat favorit mbak Ndari untuk duduk belajar. Ia sering membawa buku dan membaca dengan tenang di sana. Sedangkan aku lebih suka menantang diri memanjat lebih tinggi lagi, ke dahan yang tegak lurus dan memiliki percabangan yang cukup kuat untuk duduk santai. Dari atas sana, aliran angin lebih kencang, sejuknya menembus kulit, dan pemandangan jauh lebih luas. Aku bisa melihat jajaran pegunungan Gunung Kidul di kejauhan, membentang biru-hijau kelabu, terlihat samar-samar dalam jarak yang begitu jauh. Bagiku, bisa melihat pemandangan di kejauhan seperti itu menjadi sebuah keistimewaan tersendiri, mengingat bagi kami yang tinggal di Yogya pemandangan dari ketinggian itu kala itu sangat langka dan memberi kesenangan. Seringkali aku duduk di pokok dahan itu, sambil memandang jajaran pegunungan kidul sering berkhayal kehidupan seperti apa yang tengah berjalan di jarak yang amat jauh itu. 

Tapi, tidak semua petualangan di atas pohon berlangsung mulus. Jika ibu kebetulan melihatku bertengger di ketinggian itu, langsung terdengar suaranya melengking:
"Jaaaaat, mudhun... ojo duwur-duwur!"
Aku tahu benar maksudnya—jika tidak segera turun, aku bisa kena seblak di pantat atau didukani dengan suara yang lebih keras lagi. Maka, dengan buru-buru, aku pun turun sebelum situasi semakin gawat.

Seiring berjalannya waktu, pohon ini tetap menjadi bagian dari kehidupan kami, bahkan setelah Bapak berpulang pada tahun 1973. Aku dan Mas Bowo, kakakku yang paling bandel, mulai memelihara burung merpati dan menjadikan cabang pohon nangka sebagai tempat pagupon doro, rumah burung merpati itu. 

Setiap pagi dan sore, aku dan Mas Bowo naik ke dahan yang cukup besar, mengawasi burung-burung yang kami rawat. Di tempat ini, kami membangun kandang sederhana, pagupon doro, tempat merpati berteduh dan berkembang biak. Awalnya hanya beberapa ekor, tetapi lama-kelamaan jumlahnya semakin banyak. Kami memberi mereka makan buah jagung yang sudah dihaluskan kadang dicampur konsentrat pakan ternak, mengamati kebiasaan mereka, dan bahkan mulai mengenali satu per satu burung yang paling jinak.

Ada kebanggaan tersendiri melihat burung-burung itu tumbuh sehat dan kuat, terbang berputar-putar di atas rumah kami sebelum kembali ke pagupon mereka. Sesekali, kami melepas beberapa ekor ke udara, berlomba siapa yang bisa membuat merpatinya pulang lebih cepat. Bagi kami, pohon nangka bukan hanya sekadar pohon—ia adalah rumah bagi burung-burung peliharaan kami, tempat kami menghabiskan sore, berbagi cerita, dan bercanda di antara dahan-dahannya yang rindang.

Namun, perlahan-lahan, waktu membawa kami menjauh dari pohon itu.

Ketika aku masuk SMP 5 Kotabaru, dan mbak Ndari masuk SMA Bopkri Kotabaru, kami mulai jarang bermain di bawahnya. Satu per satu saudara pergi membangun kehidupan baru, meninggalkan rumah tua yang penuh kenangan. Mbak Ndari melanjutkan kuliah di Jember, dan akhirnya, ibu memutuskan pindah ke rumah baru yang lebih kecil di kampung yang sama.

Kami meninggalkan rumah itu... dan juga pohon nangka yang telah menjadi bagian dari perjalanan kami.

Aku tidak pernah tahu apakah pohon itu masih berdiri kokoh, atau sudah ditebang dan berubah menjadi kayu bakar. Tapi yang pasti, kenangannya tetap hidup.

Di setiap hembusan angin yang menerpa dedaunan, di setiap suara "bleg-bleg-bleg" dari buah nangka yang diketuk, di setiap aroma bunga kopi yang pernah menyelimuti halaman rumah kami... pohon itu tetap ada dalam ingatanku.

Ia memang hanya sebatang pohon, tetapi bagiku dan keluargaku, ia adalah saksi diam dari masa kecil kami.

Popular posts from this blog

Manggala Dari Paitunan

Misteri Drumband yang Hilang di Angin Pagi

Saat Malam Tak Perlu Dijelaskan