Slintru Biru


.....Slintru mencerminkan luwesnya hidup, yang tidak menuntut kejelasan mutlak, tapi kepekaan terhadap suasana..... 

Di rumah tua kami di Ketanggungan, Yogyakarta, ada satu benda yang menjadi saksi bisu masa kecil: Slintru Biru. Ia bukan sekadar sekat, tapi penjaga rasa antara "njobo" dan "njero", antara ruang tamu yang kami sebut ngajengan, dan ruang keluarga tempat kehidupan sehari-hari berlangsung.

Slintru itu memiliki bentuk khas: dua rangka kayu berukir, bisa dibuka lipat seperti sayap, atau ditutup rapat kala privasi dibutuhkan. Di atasnya, ukiran burung merpati putih saling menghadap, paruhnya menggigit buah bulat kecil seperti anggur. Di sekelilingnya, daun hijau berliuk dan bunga-bunga kecil kuning merambat dengan halus, dilapisi bingkai merah tipis di bawahnya. Rangka itu menopang layar dari plastik tebal berwarna biru yang jika terkena cahaya akan menyaring sinar menjadi biru temaram. Tidak sepenuhnya transparan, tapi cukup memberi siluet samar dari sisi seberang.

Plastik biru itu seringkali sobek—bukan karena usia, tapi karena kami, anak-anak kecil yang berlari kejar-kejaran, bermain petak umpet, kadang dengan kayu atau tongkat di tangan, lalu menabraknya tanpa sengaja. Kalau sudah begitu, suara Ibu atau Eyang akan menggema, dan saling tuding pun dimulai. Tapi setelah diperbaiki, slintru kembali berdiri dengan anggun, seolah memaafkan kenakalan kami.

Ngajengan, ruang tamu kami, ibarat setengah pendopo. Tanpa pintu, hanya satu trap tangga lebar yang menghubungkan dari lantai dasar luar ke lantai dalam yang lebih tinggi. Tangga itu memiliki tembok pembatas di kiri kanan, tempat kami duduk santai, mengobrol, atau sekadar memandang halaman. Di dalam ngajengan ada satu set kursi dan meja bundar dari kayu dan rotan. Di sudut ruangan, berdiri rak kecil tempat payung Jawa kuno berdiri gagah, diapit dua tombak.

Saat tidak ada tamu, ngajengan berubah jadi arena bermain: kami berlarian, bersembunyi, tertawa lepas. Kalau sore datang, seringkali aku dan adikku Tining digendong Paijem, pengasuh kami, disuapi sambil berdiri di teras ngajengan. Paijem tidak berani dan memang tidak dibolehkan duduk di kursi tamu saat itu. Sementara kakak-kakakku duduk santai, main kartu atau sekak, tertawa kecil, bercengkerama tanpa distraksi layar.

Belum ada gawai, belum ada suara notifikasi, bahkan belum ada siaran televisi. Yang ada hanya suara sandal kayu di lantai, denting sendok dari dapur, suara becak lewat di kejauhan, atau paling banter suara radio transistor dua band. Slintru Biru berdiri di tengah semuanya, tak hanya memisahkan ruang, tapi menjaga kenangan.

Slintru Biru itu bukan sekadar benda. Ia seperti orang tua yang tahu kapan harus membiarkan anak-anak bermain di luar, dan kapan harus berkata: “cukup, masuk dulu.” Ia membatasi tanpa mengusir, membuka tanpa meluruhkan segalanya. Seperti cara orang Jawa menjaga hubungan—halus, tak langsung, tapi penuh makna.

Di rumah itu, kami belajar bahwa ruang bukan soal tembok, tapi tata krama. Bahwa privasi bukan berarti menjauhkan, tapi menghormati. Slintru mengajarkan kami kapan harus mundur, kapan bisa masuk, dan kapan cukup menunggu di ngajengan, sambil menyimak obrolan para orang dewasa dari balik dinding biru temaram.

Dalam budaya Jawa, khususnya Yogyakarta, Slintru mencerminkan luwesnya hidup, yang tidak menuntut kejelasan mutlak, tapi kepekaan terhadap suasana. Ia bukan hanya sekat, melainkan bagian dari tata ruang batin yang paham rasa: eling lan waspada, tahu kapan maju, kapan menepi.

Dan kini, setiap kali aku mengingat rumah masa kecil itu, yang pertama muncul bukan gerbang depan atau kamar kecil kami, tapi… Slintru Biru. Ia adalah batas, tapi bukan penghalang. Ia memberi ruang, tapi tak menciptakan jarak. Ia melipat, membuka, menutup, menunggu—seperti kenangan itu sendiri.

Kala Lebaran di Bali 2025

Popular posts from this blog

Manggala Dari Paitunan

Misteri Drumband yang Hilang di Angin Pagi

Saat Malam Tak Perlu Dijelaskan