Posts

Apakah Aku Seorang Pengikut, Atau Hanya Sekedar Penggemar?

Pengantar Semua ini berawal dari satu pertanyaan yang muncul di tengah perjalanan hidup rohani saya: Apakah saya benar-benar mengikuti Yesus… atau hanya sekadar menjadi penggemar-Nya? Pertanyaan itu muncul setelah saya membaca buku Not a Fan  dari Kyle Idleman. Saya belum selesai membacanya saat itu, tapi apa yang disampaikan penulisnya terasa sangat tepat menyentuh bagian terdalam dari hati saya. Saya merasa disapa—atau barangkali disindir—oleh kejujurannya. Di tengah aktivitas gereja, pelayanan, dan kegiatan yang silih berganti, saya tersadar bahwa bisa jadi selama ini saya hanya berdiri dekat dengan Yesus, tapi belum sungguh berjalan di belakang-Nya. Masa prapaskah pun sedang berlangsung. Empat puluh hari, yang dalam tradisi Kristen diisi dengan berpantang, berdoa, dan berderma. Bersamaan dengan itu, saya baru saja diteguhkan sebagai penatua—pelayan jemaat di gereja saya. Semua itu seperti saling menyambut, saling melengkapi, dan akhirnya mengarah pada satu pergumulan besar...

Slintru Biru

Image
..... Slintru mencerminkan luwesnya hidup, yang tidak menuntut kejelasan mutlak, tapi kepekaan terhadap suasana .....  Di rumah tua kami di Ketanggungan, Yogyakarta, ada satu benda yang menjadi saksi bisu masa kecil: Slintru Biru. Ia bukan sekadar sekat, tapi penjaga rasa antara "njobo" dan "njero", antara ruang tamu yang kami sebut ngajengan, dan ruang keluarga tempat kehidupan sehari-hari berlangsung. Slintru itu memiliki bentuk khas: dua rangka kayu berukir, bisa dibuka lipat seperti sayap, atau ditutup rapat kala privasi dibutuhkan. Di atasnya, ukiran burung merpati putih saling menghadap, paruhnya menggigit buah bulat kecil seperti anggur. Di sekelilingnya, daun hijau berliuk dan bunga-bunga kecil kuning merambat dengan halus, dilapisi bingkai merah tipis di bawahnya. Rangka itu menopang layar dari plastik tebal berwarna biru yang jika terkena cahaya akan menyaring sinar menjadi biru temaram. Tidak sepenuhnya transparan, tapi cukup memberi siluet sa...

Saat Malam Tak Perlu Dijelaskan

Image
Ada malam-malam yang datang bukan untuk diisi, melainkan untuk membiarkan hati duduk diam, menyandarkan lelahnya di dinding kenangan. Di kampung kecil Ketanggungan, Jogja yang kini hanya tinggal potongan dalam ingatan, suara malam pernah begitu jujur — orong-orong memulai senandung sejak senja, disusul jangkrik yang menunggu giliran saat lampu petromaks menyala dan suara manusia mulai terdengar sayup dikejauhan. Di ruang tengah, tikar dari anyaman daun pandan digelar perlahan di lantai. Bantal kapuk disandarkan, dan tubuh kecil rebah di atasnya, merasakan sejuk yang menjalar pelan dari kulit ke hati. Di sudut ruangan, radio transistor bergumam sayup, membacakan warta dari RRI di gelombang MW, sesekali terselip keroncong lawas atau suara penyiar yang seperti berbicara hanya pada satu orang. Tak ada ponsel. Tak ada janji yang harus ditepati pagi-pagi. Hanya langit-langit rumah yang diamati sambil berkhayal: tentang menjadi orang besar, tentang sekolah jauh, tentang sesuatu ya...

Disinformasi, Apatisme Politik, dan Peran Media

Image
.... Demokrasi yang kuat hanya bisa bertahan jika warganya tetap peduli dan terlibat. Sebaliknya, ketika apatisme menjadi norma, maka siapa yang mengendalikan informasi, dialah yang mengendalikan arah masa depan. Di tengah derasnya arus informasi digital, masyarakat modern semakin dihadapkan pada paradoks yang menarik: meskipun informasi tersedia dalam jumlah yang melimpah, minat terhadap politik dan berita yang bersifat strategis justru menurun. Perdebatan mengenai hoaks politik, pengaruh troll army, dan strategi disinformasi yang terstruktur telah membuka mata kita bahwa ada mekanisme sosial yang bekerja dalam mengendalikan perhatian publik. Fenomena ini tidak hanya sekadar efek samping dari kemajuan teknologi, tetapi juga merupakan bagian dari dinamika politik, ekonomi, dan psikologi sosial yang lebih besar. Fenomena Hoaks Politik dan Strategi Disinformasi Kasus terbaru mengenai hoaks yang menimpa Ganjar Pranowo menjadi salah satu contoh bagaimana disinformasi beroperasi...

Kalkulasi Imajiner Amarah Kolektif: Membaca Dinamika dan Residu Kemarahan Sosial

Image
Pemegang kekuasaan sering kali menggunakan berbagai cara untuk menekan ekspresi kemarahan. Mulai dari pengalihan isu, hiburan massal, pemberian bantuan sosial, hingga penindakan represif terhadap mereka yang berani bersuara.   Tidak ada ledakan sosial yang muncul tiba-tiba. Ia bukan sekadar gelombang emosional yang terjadi dalam semalam, tetapi akumulasi panjang dari ketidakpuasan yang tersimpan di banyak benak. Sebuah peristiwa besar yang mengguncang masyarakat hanyalah pemantik; lahan suburnya telah lama dipersiapkan oleh pengalaman ketidakadilan yang berulang. Di warung kopi, di gang-gang kecil, di lini-lini media sosial, dan di obrolan rumah tangga, percikan amarah tersebar. Awalnya hanya keluhan, kemudian berkembang menjadi ketidakpuasan yang terus menguat. Ada rasa jengah yang meresap, bukan hanya karena masalah ekonomi, tetapi juga karena ketidakadilan yang dianggap semakin nyata. Orang-orang mulai merasa bahwa suara mereka tidak lagi didengar, bahwa keputusan-keputusan ...

Antara Kesabaran dan Gelombang Perubahan: Bagaimana Bangsa ini Bergerak

Image
  Masyarakat yang tampaknya sabar dan menerima keadaan dalam waktu panjang sebenarnya menyimpan akumulasi tekanan yang pada titik tertentu dapat meledak menjadi gerakan besar atau amuk sosial yang sulit dikendalikan. Prolog Dalam lintasan sejarah, bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang mudah melupakan. Banyak peristiwa ketidakadilan, penindasan, dan kesewenang-wenangan yang terjadi dalam berbagai periode sejarah sering kali tidak bertahan lama dalam ingatan kolektif. Entah karena tidak ada penguatan dalam kesadaran sosial, atau karena masyarakat lebih memilih untuk tidak terus-menerus mengingat luka lama. Namun, di balik kecenderungan ini, terdapat karakter lain yang tak kalah penting dalam membentuk perjalanan bangsa ini—yakni kesabaran. Bukan berarti bangsa ini tidak menyadari ketidakadilan yang terjadi. Namun, sering kali, pelupaan ini terjadi sebagai bagian dari strategi bertahan hidup, menunggu waktu yang lebih tepat untuk bertindak. Kesabaran telah menjadi bagian ...